Definisi Tauhid
Kata “tauhid” di dalam bahasa Arab
berasal dari kata (wahhada – yuwahhidu – tauhidan), dan makna (wahhadasy
syai’a) yaitu menjadikan (sesuatu) satu-satunya, dan semuanya berasal dari kata
(wahidun) yang berarti satu atau tunggal.
Adapun menurut arti dalam syari’at
maka makna tauhid bila dimutlakkan maksudnya adalah menyendirikan/mengesakan
Allah dalam beribadah kepadanya. Adapun pengertian secara lebih luas lagi
adalah menyendirikan/mengesakan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan
bagi Allah, baik dalam hal rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, maupun asma’
(nama-nama) dan sifat-sifat-Nya, dan tidak ada sekutu bagi Allah dala semua hal
tersebut.
Manusia
diciptakan untuk beribadah kepada Allah dengan satu-satunya yang diibadati.
Tidak ada yang berhak diibadati selain Allah. Karenanya satu-satunya dosa yang
tidak bisa diampuni adalah pelanggaran terhadap tauhid, yakni musyrik kepada
Allah. Karenanya pasti tidak ada satu perintah atau laranganpun dalam ajaran
Islam yang bisa terlepas atau terhindar dari tauhid, karena tauhid adalah inti dan esensi Islam.
Jantung hatinya Islam dan ruh kehidupan Islam yang hakiki.
Mengingat tauhid
sebagai kekuatan utama, mainstream ajaran Islam, maka apa sebenaranya
makna tauhid. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy (1992:1) tauhid adalah ilmu yang
membicarakan tentang cara-cara mene-tapkan aqidah agama dengan menggunakan
dali-dalil yang meyakinkan, baik dalil naqli, ‘aqli dan wijdani
(perasaan halus). Pengertian ini lebih cenderung melihat tauhid sebagai ilmu
tauhid. Tauhid berasal dari kata wahada, yuwahidu, tauhidan, artinya
mengesakan Allah dalam beribadah. Tauhid
hadir ketika seorang hamba meyakini bahwa Allah
SWT adalah Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam Rububiyyah (ketuhanan),
Uluhiyah (ibadah), Asma` dan Sifat-Nya (nama dan sifat).
Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan. Pengenalan
tentang Tuhan perpusat pada pentauhidan-Nya. Pentauhidan kepada Tuhan hanya-lah
pada apa yang disebut Allah, yang tiadak ilah selain Allah, Yang Maha Suci dari
segala sifat-sifat kemahlukan. Tak ada yang bisa disetarakan, disemisalkan,
apalagi diserupakan dengan-Nya. Allah benar-benar tidak membutuhkan ruang dan
waktu. Dan jika ada yang meyakini sebuah konsepsi Tuhan membutuhkan kehadiran mahluk, maka itu pasti
sebuah keyakinan yang keliru.
Manusia secara hakiki dan esensi
tidak bisa melepaskan dirinya dari eksistensi Tuhan. Terlepas dari ada atau
tidak adanya kesadaran untuk mengakui kebenaran eksistensial itu. Karena diakui
atau ditolak Allah sudah diakui manusia sejak alam konsepsi melalui IKRAR
PRIMORDIAL, yakni ikrar yang dilakukan manusia sejak dalam alam konsepsi (QS.
Al-‘Araf [7]:172), ”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terha-dap jiwa
mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, mereka menjawab,
“Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang demikian itu
agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Penerimaan kehadiran Allah dalam kehidupan manusia
tidak bisa diukur oleh kesadaran akal atau rasio manusia, apa pun kekuatan akal itu bekerja. Tetapi
akal menjadi prasyarat utama keimanan manusia kepada Allah. Kenapa akal menjadi
prasyarat utama keimanan? Jawabanya, karena iman kepada Allah merupakan tahapan
tertinggi dari kemampuan berpikir hati (QS. Al-Hajj [22]: 46). Tauhid tidak
bisa diukur oleh logika, tetapi tauhid merupakan pemahaman yang logis dan
bahkan bisa dibuktikan secara empiris. Puncak pemahamannya berada pada
spiritualitas berpikir ruhani, bukan berpikir akali. Sebab berpikir akal atau
logis sering kali membawa pada analisis yang berujung pada hadirnya sikap ragu.
Sedangkan keiman-an membutuhkan ketundukan total, ketaatan penuh dan penerimaan
tanpa ada peluang penolakan sedikitpun.
Penerimaan total atas tauhid sebagai
konsep abstrak membutuhkan pembuktian dan pembaktian yang nyata dalam bentuk
perilaku terukur, teramati dan terlihat secara nyata. Syari’at pasti terlahir
dari keniscayaan pembuktian konsep abstrak tauhid yang harus ternyatakan secara
aktual dan dibangun secara berkelanjutan, agar keyakinan tauhid tetap
terpelihara, utuh dan tidak tercemari virus-virus kemusyrikan. Syariat yang
benar pasti yang sesuai, koheren, dengan prinsip-prinsip tauhid. Kenapa? Sebab
syariat adalah tauhid, ia adalah aqidah. Satu jenis beda bentuk atau bahkan
satu jenis dan satu bentuk, yakni bentuk bundar dari Tauhid. Syari’at
dimak-sudkan untuk memberikan aturan, hukum dan tata cara pentauhidan ibadah
kepada Allah dalam bentuk yang aplikatif (perbuatan). Syari’at merupakan bentuk
lanjutan tatanan mewujudkan tauhid dan buahnya berupa Akhlak, yakni perbuatan
perwujudan dari nilai aqidah/tauhid yang dilatih dalam bentuk peribadatan syariah.
Jadi aqidah, syariah dan akhlak adalah saudara kembar tiga yang terlahir dari
induk yang sama yaitu Tauhid itu sendiri. Benang merahnya, darah merahnya,
energi listriknya tetap satu yakni peng-Esa-an Allah dalam segala bentuk dan
perbuatan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar