Rabu, 18 Februari 2015

definisi Tauhid

Definisi Tauhid
Kata “tauhid” di dalam bahasa Arab berasal dari kata (wahhada – yuwahhidu – tauhidan), dan makna (wahhadasy syai’a) yaitu menjadikan (sesuatu) satu-satunya, dan semuanya berasal dari kata (wahidun) yang berarti satu atau tunggal.
Adapun menurut arti dalam syari’at maka makna tauhid bila dimutlakkan maksudnya adalah menyendirikan/mengesakan Allah dalam beribadah kepadanya. Adapun pengertian secara lebih luas lagi adalah menyendirikan/mengesakan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, baik dalam hal rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, maupun asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat-Nya, dan tidak ada sekutu bagi Allah dala semua hal tersebut.
            Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah dengan satu-satunya yang diibadati. Tidak ada yang berhak diibadati selain Allah. Karenanya satu-satunya dosa yang tidak bisa diampuni adalah pelanggaran terhadap tauhid, yakni musyrik kepada Allah. Karenanya pasti tidak ada satu perintah atau laranganpun dalam ajaran Islam yang bisa terlepas atau terhindar dari tauhid,  karena tauhid adalah inti dan esensi Islam. Jantung hatinya Islam dan ruh kehidupan Islam yang hakiki.
Mengingat tauhid sebagai kekuatan utama, mainstream ajaran Islam, maka apa sebenaranya makna tauhid. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy (1992:1) tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara mene-tapkan aqidah agama dengan menggunakan dali-dalil yang meyakinkan, baik dalil naqli, ‘aqli dan wijdani (perasaan halus). Pengertian ini lebih cenderung melihat tauhid sebagai ilmu tauhid. Tauhid berasal dari kata wahada, yuwahidu, tauhidan, artinya mengesakan Allah dalam beribadah. Tauhid hadir ketika seorang hamba meyakini bahwa Allah SWT adalah Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam Rububiyyah (ketuhanan), Uluhiyah (ibadah), Asma` dan Sifat-Nya (nama dan sifat).
            Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan. Pengenalan tentang Tuhan perpusat pada pentauhidan-Nya. Pentauhidan kepada Tuhan hanya-lah pada apa yang disebut Allah, yang tiadak ilah selain Allah, Yang Maha Suci dari segala sifat-sifat kemahlukan. Tak ada yang bisa disetarakan, disemisalkan, apalagi diserupakan dengan-Nya. Allah benar-benar tidak membutuhkan ruang dan waktu. Dan jika ada yang meyakini sebuah konsepsi Tuhan  membutuhkan kehadiran mahluk, maka itu pasti sebuah keyakinan yang keliru.
            Manusia secara hakiki dan esensi tidak bisa melepaskan dirinya dari eksistensi Tuhan. Terlepas dari ada atau tidak adanya kesadaran untuk mengakui kebenaran eksistensial itu. Karena diakui atau ditolak Allah sudah diakui manusia sejak alam konsepsi melalui IKRAR PRIMORDIAL, yakni ikrar yang dilakukan manusia sejak dalam alam konsepsi (QS. Al-‘Araf [7]:172), ”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terha-dap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, mereka menjawab, “Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
            Penerimaan kehadiran Allah dalam kehidupan manusia tidak bisa diukur oleh kesadaran akal atau rasio manusia,  apa pun kekuatan akal itu bekerja. Tetapi akal menjadi prasyarat utama keimanan manusia kepada Allah. Kenapa akal menjadi prasyarat utama keimanan? Jawabanya, karena iman kepada Allah merupakan tahapan tertinggi dari kemampuan berpikir hati (QS. Al-Hajj [22]: 46). Tauhid tidak bisa diukur oleh logika, tetapi tauhid merupakan pemahaman yang logis dan bahkan bisa dibuktikan secara empiris. Puncak pemahamannya berada pada spiritualitas berpikir ruhani, bukan berpikir akali. Sebab berpikir akal atau logis sering kali membawa pada analisis yang berujung pada hadirnya sikap ragu. Sedangkan keiman-an membutuhkan ketundukan total, ketaatan penuh dan penerimaan tanpa ada peluang penolakan sedikitpun.
            Penerimaan total atas tauhid sebagai konsep abstrak membutuhkan pembuktian dan pembaktian yang nyata dalam bentuk perilaku terukur, teramati dan terlihat secara nyata. Syari’at pasti terlahir dari keniscayaan pembuktian konsep abstrak tauhid yang harus ternyatakan secara aktual dan dibangun secara berkelanjutan, agar keyakinan tauhid tetap terpelihara, utuh dan tidak tercemari virus-virus kemusyrikan. Syariat yang benar pasti yang sesuai, koheren, dengan prinsip-prinsip tauhid. Kenapa? Sebab syariat adalah tauhid, ia adalah aqidah. Satu jenis beda bentuk atau bahkan satu jenis dan satu bentuk, yakni bentuk bundar dari Tauhid. Syari’at dimak-sudkan untuk memberikan aturan, hukum dan tata cara pentauhidan ibadah kepada Allah dalam bentuk yang aplikatif (perbuatan). Syari’at merupakan bentuk lanjutan tatanan mewujudkan tauhid dan buahnya berupa Akhlak, yakni perbuatan perwujudan dari nilai aqidah/tauhid yang dilatih dalam bentuk peribadatan syariah. Jadi aqidah, syariah dan akhlak adalah saudara kembar tiga yang terlahir dari induk yang sama yaitu Tauhid itu sendiri. Benang merahnya, darah merahnya, energi listriknya tetap satu yakni peng-Esa-an Allah dalam segala bentuk dan perbuatan-Nya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar