Kamis, 28 Desember 2017

DIKTAT
Untuk memenuhi tugas Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Dosen : Aep Saepuloh, M.Si.


Disusun :
Nama : Nurillah Novia Hermaniawati
NIM : 1147020048
Kelas : Biologi 1.B


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014


BAB 1
PENDAHULUAN
A.                Latarbelakang Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) memiliki peran penting  dalam suatu  kehidupan berbangsa dan bernegara.  Menurut William Galston,  pendidikan kewarganegaraan per definsi adalah pendidikan_di dalam dan demi_ tatanan politik yang ada (Felix Baghi, 2009).  Pendidikan kewarganegaraan adalah bentuk pengemblengan individu-individu agar mendukung dan memperkokoh komunitas politiknya sepanjang komunitas politik itu adalah hasil kesepakatan. Pendidikan kewarganegaraan suatu negara akan senantiasa dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tujuan pendidikan (educational values and aims) sebagai faktor struktural utama (David Kerr, 1999). Pendidikan kewarganegaraan bukan semata-mata membelajarkan fakta tentang lembaga dan prosedur kehidupan politik tetapi juga persoalan jatidiri dan identitas suatu bangsa (Kymlicka, 2001).
Berdasar hal di atas, pendidikan kewarganegaraan di Indonesia juga berkontiribusi penting dalam menunjang tujuan bernegara Indonesia.  Pendidikan kewarganegaraan secara sistematik adalah dalam rangka perwujudan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 Pendidikan kewarganegaraan berkaitan dan berjalan seiring dengan perjalanan pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian integral dari ide, instrumentasi, dan praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia (Udin Winataputra, 2008). Bahkan dikatakan, pendidikan nasional kita hakikatnya adalah pendidikan kewarganegaraan agar dilahirkan warga negara Indonesia yang berkualitas baik dalam disiplin sosial dan nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual dan profesional, dalam tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan, kemanusiaan serta dalam moral, karakter dan kepribadian (Soedijarto, 2008).
Pendidikan kewarganegaraan di manapun pada dasarnya bertujuan membentuk warga negara yang baik (good citizen) (Somantri, 2001; Aziz Wahab, 2007; Kalidjernih, 2010).  Namun konsep “warga negara yang baik” berbeda-beda dan sering berubah sejalan dengan perkembangan bangsa yang bersangkutan. Dalam konteks tujuan pendidikan nasional dewasa ini, warga negara yang baik yang gayut dengan pendidikan kewarganegaraan adalah warga negara yang demokratis bertanggung jawab (Pasal 3) dan warga negara yang memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air (pasal 37 Undang-Undang No 20 Tahun 2003).  Dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia adalah membentuk warga negara yang demokratis bertanggung jawab, memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
Pendidikan kewarganegaraan merupakan bidang yang lintas keilmuan (Udin Winataputra, 2001) atau bidang yang multidisipliner (Sapriya, 2007). Sebagai bidang yang multidimensional, pendidikan kewarganegaraan dapat memuat sejumlah fungsi antara lain; sebagai pendidikan politik, pendidikan hukum dan pendidikan nilai (Numan Somantri, 2001); pendidikan demokrasi (Udin Winataputra, 2001); pendidikan nilai, pendidikan demokrasi, pendidikan moral dan pendidikan Pancasila (Suwarma, 2006), pendidikan politik hukum kenegaraan berbangsa dan bernegara NKRI, sebagai pendidikan nilai moral Pancasila dan Konstitusi NKRI, pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) NKRI dan sebagai pendidikan kewargaan negara (civic education) NKRI (Kosasih Djahiri, 2007); dan sebagai pendidikan demokrasi, pendidikan karakter bangsa,  pendidikan nilai dan moral, pendidikan bela negara, pendidikan politik, dan pendidikan hukum (Sapriya, 2007).  Fungsi yang berbeda-beda tersebut sejalan dengan karakteristik “warga negara yang baik” yang hendak diwujudkan.
Selain memuat beragam fungsi, pendidikan kewarganegaraan memiliki 3 domain/ dimensi atau wilayah yakni sebagai program kurikuler, program sosial kemasyarakatan dan sebagai program akademik (Udin Winataputra, 2001; Sapriya, 2007). Pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler adalah pendidikan kewarganegaraan yang dilaksanakan di sekolah atau dunia pendidikan yang mencakup program intra, ko dan ekstrakurikuler.  Sebagai program kurikulum khususnya intra kurikuler, pendidikan kewarganegaraan dapat diwujudkan dengan nama pelajaran yang berdiri sendiri (separated) atau terintegrasi dengan mata pelajaran yang lain (integratied). Sebagai program sosial kemasyarakatan adalah pendidikan kewarganegaraan yang dijalankan oleh dan untuk masyarakat. Pendidikan kewarganegaraan sebagai program akademik adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan komunitasnya guna memperkaya body of knowledge pkn itu sendiri.
B.                 Mata kuliah PKn di Perguruan Tinggi
 Kewarganegaraan (PKn) sebagai nama mata kuliah di perguruan tinggi merupakan perwujudkan dari pendidikan kewarganegaraan (pkn) dalam dimensi kurikuler khususnya kegiatan intra kurikuler. Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi dimunculkan sebagai mata kuliah tersendiri, tidak terintegrasi dengan mata kuliah lain.  Ia dapat dikatakan sebagai nama species, sedang genusnya adalah pkn itu sendiri.  Ia adalah nama diri bukan nama jenis. Secara kebetulanspecies atau nama diri sama dengan nama genus atau nama jenisnya yakni PKn.
Namun demikian, pengalaman penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan di  perguruan tinggi di Indonesia pernah diwujudkan dengan berbagai nama diri atau species yang berbeda-beda. Pendidikan kewarganegaraan pernah diwujudkan dengan nama mata kuliah Filsafat Pancasila, Kewiraan, Pendidikan Pancasila dan PKn. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah ada pelajaran Civics, PKN, PMP, PSPB, PPKn,  Kewarganegaraan , PKPS, dan PKn.
Perkembangan baru menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dimunculkan dengan dua mata kuliah yang berbeda yakni Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dengan merujuk pada SK Dirjen Dikti No. 43 Tahun 2006 danPendidikan Pancasila (PP) mendasarkan pada SE Dirjen Dikti No. 914/E/T/2011.
Kedua mata kuliah tersebut pada hakekatnya merupakan pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler pada jenjang pendidikan tinggi  di Indonesia  yang juga sama-sama bertujuan membentuk warga negara yang baik (good citizen). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya overlapping antara keduanya, perlu dirumuskan konsep warga negara yang baik yang hendak dikembangkan oleh kedua mata kuliah ini.  Hal demikian juga perlu pemberian penekanan fungsi yang berbeda dari  kedua mata kuliah.
Jika merujuk pada tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan kewarganegaraan yang terdapat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003, maka terungkap bahwa fungsi pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalahsebagai pendidikan demokrasi dan pendidikan kebangsaan. Sebagai pendidikan demokrasi karena bertujuan membentuk warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (pasal 3), dan sebagai pendidikan kebangsaan karena bertujuan membentuk warga negara yang memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air (pasal 37). Jika demikian, dengan sederhana dapat diusulkan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memuat fungsi sebagai pendidikan demokrasi, sedang mata kuliah Pendidikan Pancasila  mengemban fungsi sebagai pendidikan kebangsaan.  Jika dua fungsi ini telah ditetapkan dan terbedakan maka selanjutnya dapat dikembangkan sejumlah materi pembelajaran (instructional material) yang dapat mendukung fungsi dari mata kuliah tersebut. Fungsi dari mata kuliah tersebut sekaligus menunjukkan jatidiri mata kuliah yang bersangkutan.
Namun demikian, jika hanya dua fungsi pendidikan yang diemban oleh kedua mata kuliah tersebut, bagaimana dengan fungsi-fungsi lain yang sesungguhnya juga bisa dimuat oleh pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler? Misal, fungsinya sebagai pendidikan kesadaran hukum, pendidikan nilai moral/karakter, pendidikan HAM, pendidikan multikultural, pendidikan anti korupsi, pendidikan kesadaran lingkungan, pendidikan kewarganegaraan (civic education) dalam arti sempit.
Apabila memang diinginkan bahwa kedua mata kuliah tersebut memuat pula sejumlah fungsi pendidikan di atas, perlu pemetaan ulang dan pembedaan fungsi yang diemban, sehingga_sekali lagi_tidak terjadi overlapping.  Sebab jika terjadi tumpang tindih rumusan fungsinya akan berpengaruh pula pada overlapping materi pembelajarannya.
Berdasar masalah di atas, menurut hemat penulis, Pendidikan Pancasila lebih baik memuat fungsi atau jatidirinya sebagai pendidikan nilai/moral atau karakter danpendidikan kesadaran hukum, termasuk kesadaran berkonstitusi. Sebab secara konseptual, Pancasila merupakan jatidiri bangsa yang didalamnya memuat nilai-nilai luhur bangsa. Di samping itu Pancasila sebagai dasar negara memiliki implikasi yuridis sebagai sumber hukum yang nantinya tercermin dalam UUD 1945. Sementara itu,PKn dapat mengemban fungsi sebagai pendidikan kebangsaan dan pendidikan demokrasi, ditambahkan sebagai pendidikan HAM, multikultural dan pendidikan kewarganegaraan dalam arti sempit.
Dengan demikian, apabila jatidiri dari kedua mata kuliah tersebut sudah jelas dan terbedakan, maka akan lebih mudah untuk merumuskan kompetensi (tujuan pembelajaran) dan  isi (materi pembelajaran) dari mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi.
Oleh karena itu di bawah ini, penulis akan mencoba merumuskan sejumlah visi, misi, , tujuan, kompetensi dan materi pendidikan dari PKn dalam fungsinya sebagai pendidikan kebangsaan, pendidikan demokrasi, pendidikan HAM, multikultural dan pendidikan kewarganegaraan dalam arti sempit.
C.                Visi Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Sebagai kelompok matakuliah pengembangan kepribadian yang memberi orientasi bagi mahasiswa dalam memantapkan wawasan dan  kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, demokrasi , penghargaan atas keragamaan dan partisipasinya membangun bangsa berdasar Pancasila
D.                Misi Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Sebagai kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian yang menyelenggarakan pendidikan kebangsaan, demokrasi , HAM, multikulural dan kewarganegaraan kepada mahasiswa guna mendukung terwujudnya warga negara yang cerdas, trampil dan berkarakter sehingga dapat diandalkan guna membangun bangsa dan negara berdasar Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan bidang keilmuan dan profesinya.
E. Tujuan  Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
1.    Memiliki wawasan dan kesadaran kebangsaan dan rasa cinta tanah air  sebagai perwujudan warga negara Indonesia yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup bangsa dan negara
2.    Memiliki wawasan dan penghargaan terhadap keanekaragaman masyarakat Indonesia sehingga mampu berkomunikasi baik dalam rangka meperkuat integrasi nasional
3.    Memiliki wawasan, kesadaran dan kecakapan dalam melaksanakan hak, kewajiban, tanggung jawab dan peran sertanya sebagai warga negara yang cerdas, trampil dan berkarakter
4.    Memiliki kesadaran dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia serta kewajiban dasar manusia sehingga mampu memperlakukan warga negara secara adil dan tidak diskriminatif
5.    Berpartisipasi aktif membangun masyarakat Indonesia yang  demokratis dengan berlandaskan pada nilai dan budaya demokrasi  yang bersumber pada Pancasila
6.    Memiliki  pola sikap,  pola pikir dan pola perilaku yang mendukung ketahanan nasional serta mampu menyesuaikannya dengan tuntutan perkembangan zaman demi kemajuan bangsa




BAB II
IDENTITAS NASIONAL
A.    Pengertian Identitas Nasional
Istilah “ Identitas Nasional “ secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Berdasarkan pengertian ini maka setiap detik bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut terbentuk secara histories. Maka pada hakikatnya “ Identitas Nasional” suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau lebih popular disebut sebagai kepribadian suatu bangsa.
Istilah kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitasi dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkahlaku individu. Oleh karena itu, menurut Ismaun (1981: 6 ) Kepribadian adalah tercermin pada keseluruhan tingkah laku seseorang dalam hubungan dengan manusia lain.
Berdasarkan uraian diatas , maka pengertian kepribadian sebagai suatu identitas nasional suatu bangsa, adalah keseluruhan atau totalitas dari kepribadian individu-individu sebagai unsur yang membentuk bangsa tersebut.oleh karena itu pengertian identitas nasional suatu bangsa tidak dapt dipisahkan dengan pengertian “peoples character “, “ National character”, atau “ National Identity “. Oleh karena itu, identitas nasional suatu bangsa termasuk identitas nasional Indonesiajuga harus dipahami dalam konteks dinamis.
Bagi bangsa Indonesia dimensi dinamis identitas nasional bangsa Indonesia belum menunjukkan perkembangan kearah sifat kreatif serta dinamis. Setelah bangsa Indonesia mengalami kemerdekaan 17 Agustus 1945, berbagai perkembangan ke arah kehidupan kebangsaan dan kenegaraan mengalami kemerosotan dari segi identitas nasional.
Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 bangsa Indonesia kembali ke UUD 1945. Pada saat itu dikenal periode orde lama dengan penekanan kepada kepemimpinan yang sifatnya sentralistik. Berkembangnya partai komunis pada periode ini dipandang sebagai keagalan pemerintah untuk mempertahankan Pancasila ideologi dan dasar negara kesatuan Republik Indonesia yang berakibat jatuhnya kekuasaan orde lama.
Kekeliruan orde baru pada akhirnya mengakibatkan terjadinya krisis diberbagai bidang kehidupan. Sudah banyak memang yang dilakukan pemerintah negara Indonesia dalam melakukan reformasi, baik dibidang politik, hukum, ekonomi, militer, pendidikan serta bidang-bidang lainnya. Namun demikian, sebagai bangsa yang kuat dari seluruh elemen masyarakat.
B.      Faktor-faktor pendukung kelahiran identitas nasional
Identitas nasional suatu bangsa memiliki sifat, ciri khas serta keunikan sendiri-sendiri, yang sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Sedikitnya ada 2 faktor yang mendukung kelahiran identitas suatu bangsa, yaitu faktor objektif dan subjektif. Bagi bangsa Indonesia faktor objektif mendukung kelahiran identitas nasional meliputi faktor geografis-ekologis dan demokratis. Sedangkan faktor subjektif adalah faktor historis, sosial, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells dalam bukunya, The power of Identity ( Suryo, 2002) mengemukakan teori tentang munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis antara empat faktor pnting, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor penarik dan faktor reaktif. Kesatuan tersebut tidak menghilangkan keberanekaan, dan hal inilah yang dikenal dengan bhineka tunggal ika. Faktor kedua, meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembangunan lainnya dalam kehidupan negara.
Faktor ketiga, mencakup kodifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Fakta keempat, meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat.
Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia, yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia pada dasarnya melekat erat dengn perjuangan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu pembentukan identitas nasional Indonesia melekat erat unsur-unsur sosial, agama, ekonomi, budaya, geografis yang berkaitan dan terbentuk melalui suattu proses yang cukup panjang ( Kaelan dan Zubaidi, 2007 : 50-51 )
Unsur-unsur Pembentuk Identitas Nasional   
a)      Sejarah
Sebelum menjadi Negara yang modern Indonesia pernah mengalami masa kejayaan yang gemilang pada masa kerajaan Majapahit dan sriwijaya. Pada dua kerajaan tersebut telah membekas pada semangat perjuangan bangsa Indonesia pada abat-abat berikutnya.
b)      Kebudayaan
Aspek kebuayaan yang menjadi unsur pembentuk indentitas nasional meliputi: akal budi, peradaban, dan pengetahuan. Misalnya sikap ramah dan santun bangsa Indonesia.
c)      Suku Bangsa
Kemajemukan merupakan indentitas lain bangsa Indonesia. tradisi bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam kemajemukan yang bersfat alamiah tersebut, tradisi bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam kemajemukan merupakan hal lain yang harus dikembangkan dan di budayakan.
d)     Agama
Keanekaragaman agama merupakan indentitas lain dari kemajemukan dengan kata lain, agama dan keyakinan Indonesia tidak hanya dijamin oleh konstitusi Negara, tetapi juga merupakan suatu Rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang harus tetap dipelihara dan disyukuri bangsa Indonesia. Menyukuri nikmat kemajemukan pemberian Allah dapat dilakukan dengan, salah satunya, sikap dan tindakan untuk tidak memaksakan keyakinan dan tradisi suatu agama, baik mayoritas maupun minoritas, atau kelompok lainnya.
e)      Bahasa
Bahasa adalah salah satu atribut indentitas nasional Indonesia. Sekalipun Indonesia memiliki ribuan bahasa daerah, kedudukan bahasa Indonesia (bahasa yang digunakan bangsa melayu) sebagai bahasa penghubung (lingua franca) peristiwa sumpah pemuda tahun 1982, yang menyatakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia.
f)       Kasta dan Kelas
Kasta adalah pembagian social atas dasar agama. Dalam agama hindu para penganutnya dikelompokkan kedalam beberapa kasta.kasta yang tertinggi adalah kasta Brahmana (kelompok rohaniaan) dan kasta yang terendah adalah kasta Sudra (orang biasa atau masyarakat biasa).  Kasta yang rendah tidak bisa kawin dengan kasta yang lebih tingi dan begitu juga sebaliknya. Kelas menurut Weber ialah suatu kelompok orang-orang dalam situasi kelas yang sama, yaitu kesempatan untuk memperoleh barang-barang dan untuk dapat menentukan sendiri keadaan kehidupan ekstern dan nasib pribadi. Kekuasaan dan milik merupakan komponen-komponen terpenting: berkat kekuasaan, mka milik mengakibatkan monopolisasi dan kesempatan-kesempatan.
C.    Karakteristik identitas nasional
Pada hakikatnya Identitas Nasional, meupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu nation ( bangsa ) dengan ciri-ciri khas tertentu yang membuat bangsa bersangkutan berbeda dengan bangsa lain. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa Identitas Nasional Indonesia adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas.
Perlu dikemukakan bahwa nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai identitas nasional tadi bukanlah barang jadi yang sudah selesai “mandheg” dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang “ terbuka”-cenderung terus-menerus bersemi sejalan dengan hasrat menuju kemajuan yang dicita-citakan bangsa Indonesia.
Perkembangan Iptek dan arus globalisasi yang membuat masyarakat Indonesia harus berhadapan dengan kebudayaan berbagai bangsa di dunia, sudah sepantasnya menyadarkan kita semua, bahwa pelestarian berbagai bangsa di dunia, sudah sepantasnya menyadarkan kita semua, bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan identitas kita semua. Dalam upaya pengembangan identitas nasional, pelestarian budaya tidak berarti menutup diri terhadap segala bentuk pengaruh kebudayaan bangsa Indonesia.
Sebagai komitmen konstitusional yang dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam pembukaan, khususnya dalam pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya, yaitu : “ kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia.
Kesadaran pentingnya mengembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa dengan keterbukaan menerima kebudayaan asing yang bernilai positif semakin tegas diamanatkan dalam pasal 32 UUD 1945 yang diamandemen :
1. Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya
2. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional
1. Pengertian Nasionalisme
Nasionalisme adalah suatu situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabdikan kepada negara dan bangsa atas nama sebuah bangsa. Munculnya nasionalisme terbukti sangat efektif sebagai alat perjuangan bersama merebut kemerdekaan dari cengkraman kolonial. Nasionalisme dapat diwujudkan dalam sebuah identitas politik/kepentingan bersama dalam bentuk sebuah wadah yang disebut bangsa (nation) dengan demikian bangsa (nation) merupakan suatu badan (wadah) yang didalamnya terhimpun orang-orang yang memiliki persamaan keyakinan dan persamaan lain yang mereka miliki seperti : ras, etnis, agama, bahasa dan budaya. Dari unsur persamaan tersebut semuanya dapat dijadikan sebagai identitas politik bersama untuk menentukan tujuan bersama. Tujuan ini direalisasikan dalam bentuk sebuah entitas organisasi politik yang dibangun berdasarkan geopolitik yang terdiri atas : populasi, geografis, dan pemerintahan yang permanen yang disebut negara (state). Menurut Dean A. Mix dan Sandra M. Hawley, nation-state merupakan sebuah bangsa yang memiliki bangunan politik seperti ketentuan-ketentuan perbatasan teritorial pemerintah sah, pengakuan bangsa lain dan sebagainya. Menurut Koerniatmante Soetoprawiro secara hukum peraturan tentang kewarganegaraan merupakan suatu konsekuensi langsung dari perkembangan nasionalisme.
2. Latar belakang lahirnya nasionalisme Indonesia
Tumbuhnya paham nasionalisme bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari situasi politik pada abad ke 20. Pada masa itu semangat menentang kolonialisme Belanda mulai muncul di kalangan pribumi. Ada 3 pemikiran besar tentang watak nasionalisme Indonesia yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan yakni paham ke Islaman, marxisme dan nasionalisme Indonsia.
Para analis nasionalis beranggapan bahwa Islam memegang peranan penting dalam pembentukan nasionalisme sebagaimana di Indonesia. Menurut seorang pengamat nasionalisme George Mc. Turman Kahin, bahwa Islam bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan melainkan juga merupakan simbol persamaan nasib menetang penjajahan asing dan penindasan yang berasal dari agama lain. Ikatan universal Islam pada masa perjuangan pertama kali di Indonesia dalam aksi kolektif di pelopori oleh gerakan politik yang dilakukan oleh Syarikat Islam yang berdiri pada awalnya bernama Syarikat Dagang Islam dibawah kepemimpinan H.O.S.Tjokoroaminoto, H.Agus Salim dan Abdoel Moeis telah menjadi organisasi politik pemula yang menjalankan program politik nasional dengan mendapat dukungan dari semua lapisan masyarakat.
3.  Faktor-Faktor Nasionalisme Indonesia
a. Faktor dari dalam (internal)
1) Kenangan kejayaan masa lampau
Bangsa-bangsa Asia dan Afrika sudah pernah mengalami masa kejayaan sebelum masuk dan berkembangnya imperialisme dan kolonialisme barat. Bangsa IndiaIndonesiaMesir, dan Persiapernah mengalami masa kejayaan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Kejayaan masa lampau mendorong semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan. Bagi Indonesia kenangan kejayaan masa lampau tampak dengan adanya kenangan akan kejayaan pada masa kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Dimana pada masa Majapahit, mereka mampu menguasai daerah seluruhNusantara, sedangkan masa Sriwijaya mampu berkuasa di lautan karena maritimnya yang kuat.
2) Perasaan senasib dan sepenanggungan akibat penderitaan dan kesengsaraan masa penjajahan
Penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa Asia, Afrika mengakibatkan mereka hidup miskin dan menderita sehingga mereka ingin menentang imperialisme barat.
3) Munculnya golongan cendekiawan
Perkembangan pendidikan menyebabkan munculnya golongancendekiawan baik hasil dari pendidikan barat maupun pendidikan Indonesia sendiri. Mereka menjadi penggerak dan pemimpin munculnya organisasi pergerakan nasional Indonesia yang selanjutnya berjuang untuk melawan penjajahan.
4) Paham nasionalis yang berkembang dalam bidang politik, sosial ekonomi, dan kebudayaan
5) Dalam bidang politik, tampak dengan upaya gerakan nasionalis menyuarakan aspirasi masyarakat pribumi yang telah hidup dalam penindasan dan penyelewengan hak asasi manusia. Mereka ingin menghancurkan kekuasaan asing/kolonial dari Indonesia.
6) Dalam bidang ekonomi, tampak dengan adanya usaha penghapusan eksploitasi ekonomi asing. Tujuannya untuk membentuk masyarakat yang bebas dari kesengsaraan dan kemelaratan untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia.
7) Dalam bidang budaya, tampak dengan upaya untuk melindungi, memperbaiki dan mengembalikan budaya bangsa Indonesia yang hampir punah karena masuknya budaya asing di Indonesia. Para nasionalis berusaha untuk memperhatikan dan menjaga serta menumbuhkan kebudayaan asli bangsa Indonesia.
b. Faktor dari luar (eksternal)
o    Kemenangan Jepang atas Rusia (1905)
o    Perkembangan Nasionalisme di Berbagai Negara
 a.      Pergerakan Kebangsaan India
 b.      Gerakan Kebangsaan Filipina
 c.       Gerakan Nasionalis Rakyat Cina
 d.      Pergerakan Turki Muda (1908)
 e.       Pergerakan Nasionalisme Mesir
o    Munculnya Paham-paham baru
Munculnya paham-paham baru di luar negeri seperti nasionalisme,liberalismesosialismedemokrasi dan pan islamisme juga menjadi dasar berkembangnya paham-paham yang serupa di Indonesia. Perkembangan paham-paham itu terlihat pada penggunaan ideologi-ideologi (paham) pada organisasi pergerakan nasional yang ada di Indonesia.
4. Perkembangan Nasionalisme di Indonesia
Sebagai upaya menumbuhkan rasa nasionalisme di Indonesia diawali dengan pembentukan identitas nasional yaitu dengan adanya penggunaan istilah “Indonesia” untuk menyebut negara kita ini. Dimana selanjutnya istilah Indonesia dipandang sebagai identitas nasional, lambang perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan. Kata yang mampu mempersatukan bangsa dalam melakukan perjuangan dan pergerakan melawan penjajahan, sehingga segala bentuk perjuangan dilakukan demi kepentingan Indonesia bukan atas nama daerah lagi. Istilah Indonesia mulai digunakan sejak :
·         J.R. Logan menggunakan istilah Indonesia untuk menyebut penduduk dan kepulauan nusantara dalam tulisannya pada tahun 1850.
·         Earl G. Windsor dalam tulisannya di media milik J.R. Logan tahun 1850 menyebut penduduk nusantara dengan Indonesia.
·         Serta tokoh-tokoh yang mempopulerkan istilah Indonesia di dunia internasional.
·         Istilah Indonesia dijadikan pula nama organisasi mahasiswa di negara Belanda yang awalnya bernamaIndische Vereninging menjadi Perhimpunan Indonesia.
·         Nama majalah Hindia Putra menjadi Indonesia Merdeka
·         Istilah Indonesia semakin populer sejak Sumpah Pemuda28 Oktober 1928. Melalui Sumpah Pemuda kata Indonesia dijadikan sebagai identitas kebangsaan yang diakui oleh setiap suku bangsa, organisasi-organisasi pergerakan yang ada di Indonesia maupun yang di luar wilayah Indonesia.
·         Kata Indonesia dikukuhkan kembali dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

5. Karakteristik nasionalisme Indonesia
Paham Nasionalisme terbukti sangat efektif sebagai alat perjuangan bersama merebut kemedekaan dari cengkraman kolonial . Semangat Nasionnalisme dipakai sebagai metode perlawanan, sebagaimana yang disampaikan oleh Larry Diamond dan Marc F Platner bahwa para penganut nasionalisme dunia ketiga secara khas menggunakan pretorika anti kolonialisme dan anti imperialisme . Dengan demikian , bangsa merupakan suatu wadah yang didalamnya terhimpun orang-orang yang mempunyai persamaan keyakinan yang mereka miliki . unsur persamaan itu dijadikan identitas politik berdasarkan geopolitik dan pemerintahan permanen (negara).
Negara merupakan bangsa yang memiliki bangunan politik . Menurut penganutnya paham nasionalisme yang disampaikan oleh Soekarno bukanlah nasionalisme yang berwatak sempit (chauvinisme) melainkan bersifat toleran dan tidak memaksa.




BAB III
NEGARA DAN WARGANEGARA
A.    Pengertian Negara
            Secara historis pengertian negara berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Pada zaman yunani kuno para ahli filsafat negara merumuskan pengertian negara secara beragam. Aristoteles (384-522 SM) merumuskan negara dalam bulu politica yang disebut negara polis, yang saat itu masih dipahami dalam suatu wilayah terkecil.
            Dalam pengertian negara disebut negara hukum yan didalamnya terdapat suatu warga negara yang ikut dalam permusyawaratan (ecclesia), oleh karena itu Aristoteles mengartikan keadilan merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya negara yang baik demi terwujudnya cita-cita seluruh warga negaranya.
            Pengertian yang lain mengenai negara dikembangkan oleh Agustinus, yang merupakan tokoh katolik. Ia membaginya dalam dua pengertian, yaitu Civitas dei yang artinya negara Tuhan, dan civitas terrena atau civitas dei yang artinya negara duniawi, Civitas terrena ini ditolak oleh Agustinus, sedangkan yang dianggap baik adalah negara Tuhan atau civitas Dei, negara tuhan bukanlah dari negara dunia lain, melainkan juwa yang dimiliki oleh sebagian-sebagian atau beberapa orang di dunia ini untuk mencapainya. Adapun yang melaksanakan negara adalah gereja yang mewakili Tuhan, meskipun demikian bukan berarti apa yang diluar gereja itu terasing sama sekali dari civitas dei (Kusnardi), beberapa dengan konsep negara menurut kedua tokoh pemikir negara tersebut, Nocolli Machlavell (1469-1527) yang merumuskan negara sebagai negara kekuasaan dalam bukunya “II Principle” yang dahulu merupakan buku referensi dalam raja. Machlavelly memandang negara dari sudut kenyataan bahwa dalam suatu negara harus ada suatu kekuasaan yang harus dimiliki oleh suatu orang pemimpin negara atau raja, raja sebagai pemegang kekuasaan suatu negara tidak mungkin hanya mengandalkan suatu kekuasaan hanya pada satu moralitas atau kesusilaan, kekacauan yang timbul dalam suatu negara karena lemahnya suatu kekuasaan negara. Bahkan yang lebih terkenal lagi ajaran Machlavelly tentang tujuan yang dapat menghalalkan segala cara akibat ajaran inilah munculah berbagai praktek pelaksanaan kekuasaan negara yang otoriter, yang jauh dari nilai-nilai moral, teori machlavelly mendapat tantangan dan reaksi yang kuat dari filsuf lain seperti Thomas Habes (1958-1679). John Locke (1652-1704), dan Rouseau(1712-1788). Mereka mengartikan negara sebagai suatu badan atau organisasi hasil dari perjanjian masyarakat secara bersama, menurut mereka manusia yang dilahirkan telah membawa hak asasi seperti hak untuk hidup, untuk memilih, serta hak kemerdekaan dalam keadaan naturalis terbentuknya negara hak-hak itu akan dapat dilanggar yang konsekuensi terjadi pembentukan kepentingan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat tersebut, menurut hobbes dalam keadaan naturalis sebuah terbentuknya  suatu negara akan terjadi homoni lupus yaitu manusia menjadi serigala bagi manusia lain yang menimbulkan perang sementara  yang disebut belum ominum Contrk Omnes dan hukum yang berlaku adalah hukum rimba.
            Bentuk ini pengertian negara yang dikemukakan oleh beberapa tokoh antara lain :
a.       Roger H,
Mengemukakan bahwa negara adalah sebagai alat argency atau wewenang louthority yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atau nama masyarakat (Soltau, 1961)
b.      Harold J,
Lasky menerangkan bahwa negara merupakan suatu masyarakat yang diantar generasikan karena memiliki wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara syah lebih agung dari pada individu atau kelompok. Masyarakat merupakan suatu negara manakala cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu atau kelompok – kelompok ditentukan oleh wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat (Lasky, 1947)
c.       Max Weber,
Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (Weber, 1958).
Tujuan Negara
a.       Menyelenggarakan ketertiban hukum
b.      Memperluas kekuasaan
c.       Mencari kesejahteraan hukum
Beberapa pendapat para ahli mengenai tujuan sebuah negara 
a.       Plato
Tujuan negara adalah memajukan kesusilaan manusia sebagai perseorangan (Individu) atau sebagai makhluk sosial.
b.      Ibnu Arabi
Tujuan negara adalah agar manusia dapat menjalankan kehidupan baik jauh dari sengketa atau perselisihan
c.       Ibnu Khaldun
Tujuan negara adalah untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat.
B.     Bentuk-bentuk negara
            Negara terbagi kedalam dua bentuk yaitu negara kesatuan(Uniterianisme) dan negara serikat(Federasi).
a.       Negara kesatuan
Bentuk suatu negara yang merdeka yang berdaulat dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaannya negara kesatuan ini terbagi ke dalam dua macam yaitu :
Sentral dan Otonomi, sistem yang langsung dipimpin oleh pemerintahan pusat model pemerintahan orde baru di bawah pimpinan presiden Soeharto. Didesentralisan adalah kepada daerah diberikan kesempatan dan kewenangan untuk mengurus urusan di wilayahnya sendiri, sistem itu dikenal sebagai Otonomi daerah ata swantara.
b.      Negara serikat
Negara serikat atau pederasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat. Pelaksanaan dan mekanisme pemilihannya, bentuk negara dapat di golongkan ke-3 kelompok yaitu monarki, Oligarti dan Demokrasi.
a.       Monarki, model pemerintahan yang dipakai oleh Raja atau Ratu.
b.      Oligarti, pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
c.       Demokrasi, bentuk pemerintahan yang bersandar kepada kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaaannya pada pilihan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu).
Pengertian Kewarganegaraan
            Warga negara dapat diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula negara, karena warga negara mengandung arti peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dari kekuatan bersama. Untuk itu setuiap warga negara mempunyai persamaan hak didepan hukum, kepastian hak, pripasi dan tanggungjawab.
            Dalam konteks indonesia istilah warga negara (Sesuai dengan pasal 26) dimaksudkan untuk bangsa indonesia asli dan bangsa lain yang di syahkan UU sebagai warga negara. Selain itu menurut pasal UU 1 No.22/1958 dinyatakan bahwa warga negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan perjanjian-perjanjian yang berlaku sejak proklamasi 17/08/1945.
C.    Hak dan Kewajiban Warga Negara
            Dalam pengertian warga negara secara umum dinyatakan bahwa warga negara merupakan anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hak dan kewajibannya yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.
            Dalam konteks Indonesia hak warga Indonesia terhadap negaranya telah diatur dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan lainnya yang merupakan derivasi dari UUD 1945.
D.    Contoh Hak Dan Kewajiban WNI
            Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama satu sama lain tanpa terkecuali, persamaan antara sesama manusia selalu dijunjung tinggi untuk menghindari berbagai kecemburuan sosial yang dapat memicu berbagai permasalahan dikemudian hari.
a.       Contoh Hak Warga Negara Indonesia
Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum, dan setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghu=idupan yang layak.
b.      Contoh Kewajiban WNI
Setiap warga negara Indonesia memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara Indonesia dari serangan musuh dan setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pemda).
E.     Hubungan Negara dan Warga Negara
            Hubungan negara dan warga negara ibarat ikan dan airnya, keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Negara Indonesia sesuai dengan institusi, misal, berkewajiban untuk menjamin dan melindungi seluruh warganya, tanpa kecuali. Secara jelas dalam UUD Pasal 33. Misal, disebtkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (ayat 1) negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, (ayat 2) negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.





BAB IV
KONSTITUSI
A.    Definisi konstitusi
1.       Pengertian konstitusi dan Undang-Undang Dasar.
           Aturan tata tertib hidup bernergara yang menjadi dasar segala tindakan dalam kehidupan negara sering disebut sebagai hukum dasar atau konstitusi,  sering disebut sebagai Undang-Undang Dasar, meskipun arti konstitusi itu sendiri adalah hukum dasar yang tertulis dan tidak tertulis. Undang-Undang Dasar tergolong hukum dasar yang tertulis, sedangkan hukum dasar yang tidak tertulis adalah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis. Hukum dasar yang tidak tertulis ini sering disebut konvensi. Dikatakan konvensi karena mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
·         Merupakan kebiasaan yang berulang-ulang dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara.
·         Tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan berjalan sejajar.
·         Diterima oleh seluruh rakyat.
·         Bersifat pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai aturan dasar yang tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar.
Secara etimologi kata Konstitusi berasal dari bahasa Perancis, constituir  sama dengan Membentuk = pembentukan suatu Negara/menyusun dan menyatakan sebuah Negara. Konstitusi juga bisa berarti peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan Negara. Bahasa belanda konstitusi = Groungwet = undang – undang dasar (ground = Dasar, wet = undang-undang. Di Jerman kata konstitusi dikenal dengan istilah Grundgeset,yang berarti Undang-undang dasar (grund = dasar, gesetz = undang-undang.
Secara terminologi konstitusi adalah sejumlah aturan-aturan dasar dan ketentuan-ketentuan hukum yang dibentuk unsur mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk dasar hubungan kerja sama antara Negara dan Masyarakat (rakyat) dalam kontek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun apabila konstitusi dipandang sebagai fundamental laws atau lembaran hukum dasar bagi segala kehidupan masyarakat di suatu negara, maka jelaslah konstitusi menjadi bagian kajian ilmu hukum. Kemudian apabila konstitusi dipandang sebagai peratutran dasar paling awal bagi pembentukan atau pendirian sebuah Negara, maka konstitusi merupakan bagian dari kajian ilmu Negara. Sementara apabila konstitusi dipandang sebagai lembaran konsesus politik segenap masyarakat sebuah Negara-bangsa, maka jelaslah konstitusi merupakan bagian dari kajian ilmu politik.

B.      Sejarah konstitusi
                Sebagai Negara yang berdasarkan hukum, tentu saja Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan undang-undang dasar 1945. Eksistensi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang sangaat panjang hingga akhirnya diterima sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia.
              Dalam sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 dirancing sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa jepang dikenal dengan dokuritsu zyunbi tyoosakai yang beranggotakan 21 orang, diketuai Ir. Soekarno dan Drs. Moh, Hatta sebagai wakil ketua dengan 19 orang anggota yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa, 3 orang dari Sumatra dan masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda kecil. Badan tersebut (BPUPKI) ditetapkan berdasarkan maklumat gunseikan nomor 23 bersamaan dengan ulang tahun Tenno Heika pada 29 April 1945 (Malian, 2001:59)
            Badan ini kemudian menetapkan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka yang kemudian dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45). Para tokoh perumus itu adalah antara lain Dr. Radjiman Widiodiningrat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran Soerjohamidjojo, Soetarjo Kartohamidjojo, Prop. Dr. Mr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatra), Mr. Abdul Abbas (Sumatra), Dr. Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi), Mr. Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), AH. Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso, Abdul Wachid hasyim dan Mr. Mohammad Hasan (Sumatra).
            Latar belakang terbentuknya konstitusi (UUD’45) bermula dari janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dikemudian hari. Janji tersebut antara lain berisi “sejak dari dahulu, sebelum pecahnya peperangan asia timur raya, Dai Nippon sudah mulai berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan pemerintah hindia belanda. Tentara Dai Nippon serentak menggerakkan angkatan perangnya, baik di darat, laut, maupun udara, untuk mengakhiri kekuasaan penjajahan Belanda”.
            Sejak saat itu Dai Nippon Teikoku memandang bangsa Indonesia sebagai saudara muda serta membimbing bangsa Indonesia dengan giat dan tulus ikhlas di semua bidang, sehingga diharapkan kelak bangsa Indonesia siap untuk berdiri sendiri sebagai bangsa Asia Timur Raya. Namun janji hanyalah janji, penjajah tetaplah penjajah yang selalu ingin lebih lama menindas dan menguras kekayaan bangsa Indonesia. Setelah Jepang dipukul mundur oleh sekutu, Jepang tak lagi ingat akan janjinya. Setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, rakyat Indonesia lebih bebas dan leluasa untuk berbuat dan tidak bergantung pada Jepang sampai saat kemerdekaan tiba.
            Setelah kemerdekaan diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi nampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan segera harus dirumuskan. Sehingga lengkaplah Indonesia menjadi sebuah Negara yang berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut:
1)      Menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari rancangan undang-undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945.
2)      Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang disusun oleh panitia perancang UUD tanggal 16 Juni 1945.
3)      Memilih ketua persiapan kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil ketua Drs. Muhammad Hatta sebagai wakil presiden.
4)      Pekerjaan presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang kemudian menjadi komite Nasional.
Dengan terpilihnya presiden dan wakilnya atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 itu, maka secara formal Indonesia sempurna sebagai sebuah Negara, sebab syarat yang lazim diperlukan oleh setiap Negara telah ada yaitu adanya:
·         Rakyat, yaitu bangsa Indonesia.
·         Wilayah, yaitu tanah air Indonesia yang terbentang dari sabang hingga ke merauke yang terdiri dari 13.500 buah pulau besar dan kecil.
·         Kedaulatan yaitu sejak mengucap proklamasi kemerdekaan Indonesia.
·         Pemerintah yaitu sejak terpilihnya presiden dan wakilnya sebagai pucuk pimpinan pemerintahan Negara
 Tujuan Negara yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila. Bentuk Negara yaitu Negara kesatuan.
C.    Perkembangan dan perubahan konstitusi di Indonesia
            Konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara dapat berupa konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Dalam hal konstitusi terstulis, hampir semua negara di dunia memilikinya yang lajim disebut undang-undang dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia. Negara yang dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak azasi manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris.Karena ketentuan mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.
          Adanya negara yang dikenal sebagai negara konstitusional tetapi tidak memiliki konstitusi tertulis, nilai-nilai, dan norma-norma yang hidup dalam praktek  penyelenggaraan negara juga diakui sebagai hukum dasar, dan tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti yang luas. Karena itu, Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke dalam pengertian konstitusi atau hukum dasar (droit constitusionnel) suatu Negara.
           Dalam perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Kajian tentang konstitusi semakin penting dalam negara-negara modern saat ini yang pada umumnya menyatakan diri sebagai negara konstitusional, baik demokrasi konstitusional maupun monarki konstitusional. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.
           Suatu konstitusi tertulis, sebagaimana halnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat serta praktek penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu, suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis perumusan juridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.
         Undang-Undang Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks filosois, sosio-historis sosio-politis, sosio-juridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya. Di samping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (ield of experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang dalam praktek di kemudian hari. Karena itu, penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga. Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan naskah Undang-Undang Dasar, diperlukan pula adanya Pokok-Pokok pemikiran konseptual yang mendasari setiap perumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar serta keterkaitannya secara langsung atau tidak langsung terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pembukaan Undang-Undang Dasar.
            Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 .
        Gagasan perubahan UUD 1945 menemukan momentumnya di era reformasi. Pada awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 yaitu:
a)      Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
b)      Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;.
c)      Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
d)     Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
e)      Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
       Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR  dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
              Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
           Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama itu tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau menjadikan UUD 1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan sama sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945, yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21. Kesembilan pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya berisi 16 ayat atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
             Gelombang perubahan atas naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.
             Setelah itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang berhasil menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001. Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini adalah Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementerian Negara, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas cakupan materinya. Tapi di samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu, selain secara kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan Sangay mendasar pula.
            Perubahan yang terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002. Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat “Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”; (c) pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e) pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
           Secara keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah UUD.  Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari naskah UUD. Paradigma pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandungdalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut.
D.    Tujuan pembentutkan konstitusi
          Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusionil, undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindung. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme.
 Cara pembatasan yang dianggap paling efektif ialah dengan jalan membagi kekuasaan. Kata Carl J. Friedrich: “dengan jalan membagi kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan suatu sistim pembatasaan yang efektif atas tindakan-tindakan pemerintah” (Constitutionalism by dividing power providesa system of effective restraints upon governmental action). Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau menifestasi dari hukum yang tertinggi yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat, tetapi pemerintah serta penguasa sekalipun.
          Gagasan konstitusionalisme telah timbul lebih dahulu dari pada konstitusi itu sendiri. Konstitusionalisme dalam arti penguasa perlu dibatasi kekuasaannya dan kerena itu kekuasaannya harus diperinci secara tegas, telah timbul di Abad pertengahan (Midle Ages) Eropa. Pada tahun 1215, raja John dari Inggris dipaksa oleh beberapa bangsawan untuk mengakui beberapa hak mereka, yang kemudian ducantumkan dalam magna Charta (Piagam Besar). Dalam Charter of English Liberties ini raja John menjamin bahwa pemungutan pajak tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari yang bersangkutan, dan bahkan tidak akan diadakan penangkapan tanpa peradilan. Meskipun belum sempurna, Magna Charta di dunia Barat dipandang sebagai permulaan dari gagasan dari konstitusionalisme serta pengakuan  terhadap kebebasan dan kemerdekaan rakyat.
            Menurut Miriam Budiarjo, setidaknya setiap konstitusi memuat lima ketentuan (atau ciri-ciri). Adapun kelima ketentuan tersebut adalah:
Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif; dalam negara federal, pembagian kekuasaan antar pemerintah negara-bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya.
        Tujuan negara yang tersurat didalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia. Tujuan negara tersebut merupakan tujuan nasional yang secara rinci dapat diurai sebagai berikut: (1) membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (3) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaikan abadi dan keadilan sosial.
         Ketentuan diadakannya Undang-Undang Dasar Negara itu sendiri juga dapat dicermati  dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang menyatakan:”..... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia....”. ketentuan ini menunjukan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Ketentuan setidaknya Undang-Undang Dasar merupakan ketentuan keharusan bagi suatu negara untuk adanya hukum dasar  yang melandasi segala kegiatan kehidupan kenegaraan. Segala penyelenggara negara harus didasarkan pada ketentuan hukum dasar. Demikian pula setiap pelaksanaan kehidupan kenegaraan yang dilakukan oleh pemerintah maupun rakyat atau warganegara haruslah berdasarkan pada segala ketentuan yang ada dalam hukum dasar negara. Dengan hukum dasar negara penyelenggaraan kehidupan bernegara dapat berjalan dengan tertib dan teratur.





BAB V
PANCASILA DAN IMPLEMENTASI
A.    Pengertian Pancasila
Pancasila artinya lima dasar atau lima asas yaitu nama dari dasar negara kita, Negara Republik Indonesia. Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV yang terdapat dalam buku Nagara Kertagama karangan Mpu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Mpu Tantular, dalam buku Sutasoma ini, selain mempunyai arti “Berbatu sendi yang lima” (dari bahasa Sangsekerta) Pancasila juga mempunyai arti “Pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu sebagai berikut:
1.      Tidak boleh melakukan kekerasan
2.      Tidak boleh mencuri
3.      Tidak boleh berjiwa dengki
4.      Tidak boleh berbohong
5.      Tidak boleh mabuk minuman keras / obat-obatan terlarang
B. Pancsila Sebaga Dasar Negara
Setiap negara harus mempunyai dasar negara. Dasar negara merupakan fundamen atau pondasi dari bangunan negara. Kuatnya fundamen negara akan menguatkan berdirinya negara itu. Kerapuhan fundamen suatu negara, beraikbat lemahnya negara tersebut. Sebagai dasar negara Indonesia, Pancasila sering disebut sebagai dasar falsafah negara (filosofische gronslag dari negara), Staats fundamentele norm, weltanschauung dan juga diartikan sebagai ideologi negara (staatsidee).
Dalam pengelolaan atau pengaturan kehidupan bernegara ini dilandasi oleh filsafat atau ideologi pancasila. Fundamen negara ini harus tetap kuat dan kokoh serta tidak mungkin diubah. Mengubah fundamen, dasar, atau ideology berarti mengubah eksistensi dan sifat negara. Keutuhan negara dan bangsa bertolak dari sudut kuat atau lemahnya bangsa itu berpegang kepada dasar negaranya.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara yaitu Pancasila sebagai dasar dari penyelenggaraan kehidupan bernegara bagi negara Republik Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara seperti tersebut di atas, sesuai dengan apa yang tersurat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia 4 antara lain menegaskan: “….., maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalm permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dengan kedudukan yang istimewa tersebut, selanjutnya dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara memiliki fungsi yang kuat pula. Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 menggariskan ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi pancasila dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara. Berikut ini dikemukakan ketentuan-ketentuan yang menunujukkan fungsi dari masing-masing sila pancasila dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu: kehidupan bernegara bagi Negara Republik Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama serta untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannnya, negara menghendaki adanya toleransi dari masing-masing pemeluk agama dan aliran kepercayaan yang ada serta diakui eksistensinya di Indonesia, negara Indonesia memberikan hak dan kebebasan setiap warga negara terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Selanjutnya ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, antara lain : pengakuan negara terhadap hak bagi setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri, negara menghendaki agar manusia Indonesia tidak memeperlakukan sesame manusia dengan cara sewenang-wenang sebagai manifestasi sifat bangsa yang berbudaya tinggi, pengakuan negara terhadap hak perlakuan sama dan sederajat bagi setiap manusia, jaminan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta kewajiban menjunjung tinggi hokum dan pemerintahan yang ada bafi setiap warga negara.
Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Persatuan Indonesia, yaitu: perlindungan negara terhadp segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiba dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, negara mengatasi segala paham golongan dan segala paham perseorangan, serta pengakuan negara terhadap kebhineka-tunggal-ikaan dari bangsa Indonesia dan kehidupannya.
Selanjutnya ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Kerkyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarata perwakilan, yaitu: penerapan kedaulatan dalam negara Indonesia yang berada di tangan rakyat dan dilakukan oleh MPR, penerapan azas musyawarah dan mufakat dalam pengambilan segala keputusan dalam negara Indonesia, dan baru menggunakan pungutan suara terbanyak bila hal tersebut tidak dapat dilaksanakan, jaminan bahwa seluruh  warga negara dapat memperoleh keadlan yang sama sebagai formulasi negara hokum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka, serta penyelenggaraan kehidupan bernegara yang didasarkan atas konstitusi dan tidak bersifat absolute.
Yang terakhir adalah ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Keadlan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, antara lain: negara menghendaki agar perekonomian Indonesia berdasarkan atas azas kekeluaraan, penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara serta menguasai hajat hidup orang banyak oleh negara, negara menghendaki agar kekayaan alam yang terdapat di atas dan di dalam bumi dan air Indonesia dipergunakan untuk kemakmuran rakyat banyak, negara menghendaki agar setiap warga negara Indonesia mendapat perlakuan yang adil di segala bidang kehidupan, baik material maupun spiritual, negara menghendaki agar setiap warga negara Indonesia memperoleh pengajaran secara maksimal, negara Republik Iindonesia mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang pelaksanaannya ditur berdasarkan Undang-Undang, pencanangan bahwa pemerataan pendidikan agar dapat dinikmati seluruh warga negara Indonesia menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga, dan negara berusaha membentuk manusia Indonesia seutuhnya..
Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr Mohammad Yamin, Prof Mr Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.
Kedua, Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat mencakup faham-faham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup untuk memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang bertentangan, pasti akan ditolak oleh Pancasila, misalnya Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama akan ditolak oleh bangsa Indonesia yang bertuhan dan ber-agama.
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia..
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu,Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”


BAB VI
ISLAM, MUSYAWARAH DAN DEMOKRASI
A.    Hakikat dan Makna Demokrasi
Demokrasi adalah salah satu bentuk pemerintahaan dalam sebuah negara dengan kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung atau melalui perwakilan. Istilah Demokrasi sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak yang disebut dengan istilah rakyat. Di Yunani sendiri demokrasi telah muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM. Demokrasi ini merujuk pada sistem politik di negara kota Yunani Kuno.
Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan Negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Sedangkan secara terminologis ada beberapa pendapat para ahli mengenai demokrasi diantaranya:
1.      Harris Soche
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah.
2.      Hennry B. Mayo
Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukan bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang secara diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemiliha-pemilihan yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjainnya kebebasan politik.
3.      International Commission for Jurist
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarankan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.
4.      Yusuf Al-Qordhawi
Demokrasi adalah Wadah Masyarakat untuk memilih sesorang untuk mengurus dan mengatur urusan mereka. Pimpinanya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang mereka tidak kehendaki, dan mereka berhak meminta pertanggungjawaban penguasa jika pemimpin tersebut salah. Merekapun berhak memecatnya jika menyeleweng, mereka juga tidak boleh dibawa ke sistem ekonomi, sosial, budaya, atau sistem politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka sukai.
Dengan demikian makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Dari sudut organisasi, demokrasi berarti pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.
Dari beberapa pendapat ahli tentang demokrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakikat demokrasi adalah sebuah proses bernegara yang bertumpu pada peran utama rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan. Dengan kata lain pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan yang meliputi tiga hal mendasar: pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people).
B.     Unsur-Unsur Penegak Demokrasi
Demokrasi bisa tegak apabila terdapat unsur-unsur penegak dari demokrasi itu sendiri, diantara unsur-unsur pengegak demokrasi adalah:
1.      Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law)
Dalam keputusan ilmu hukum, di Indonesia istilah negara hukum sebagai terjemahan dari Rechtssaatatau The Rule of The Law. Konsepsi Negara hukum mengandung pengertian bahwa Negara memberikan perlindungan hukum bagi warga negara melalui kelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak serta penjaminan hak asasi manusia. Istilah tersebut di terjemahkan menjadi Negara hukum.
Menurut M. Machfud M.D pada hakikatnya mempunyai makna yang berbeda. Istilah Rechtssaatbanyak dianut oleh Negara Eropa Continental yang bertumpu pada sistem civil law, sedangkan the rule of law banyak dikembangkan di Negara-negara Anglo Saxon yang bertumpu pada common law.
Konsepsi Rechtsstaat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Adanya perlindungan terhadap HAM.
2.       Adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pada lembaga Negara untuk menjamin perlindungan HAM.
3.       Pemerintahan berdasarkan peraturan
4.       Adanya peradilan administrasi
Adapun the rule of law mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.       Adanya supremasi aturan-aturan hukum.
2.       Adanya kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law)
3.       Adanya jaminan perlindungan HAM
Dengan demikian konsep Negara hukum sebagai gabungan dari kedua konsep diatas dicirikan sebagai berikut:
1.       Adanya jaminan perlindungan terhadap HAM
2.       Adanya supremasi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan
3.       Adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan Negara.
4.       Adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri
Sementara itu, istilah Negara hukum di Indonesia dapat ditemukan dalam penjelasan UUD 1945 yang berbunyi “Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka”
2.      Masyarakat Madani
Masyarakat Madani atau civil society adalah masyarakat dengan ciri-cirinya yang terbuka, egaliter, bebas dari dominasi, dan tekanan negara. Masyarakat Madani merupakan elemen yang sangat penting dalam membangun demokrasi. Posisi penting Masyarakat Madani dalam pembangunan demokrasi adalah adanya paritisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah.
Perwujudan Masyarakat Madani secara konkret dilakukan oleh beberapa oranganisasi-organisasi di luar negara (non government organizations) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dalam praktiknya, Masyarakat Madani dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai mitra kerja lembaga-lembaga negara maupun melakukan fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Dengan demikian, Masyarkat Madani sebagaimana negara menjadi sangat penting keberadaannya dalam mewujudkan demokrasi. Dalam peran demokraasinya, Masyarakat Madani dapat tumpuan sebagai komponen penyeimbang kekuatan negara yang memiliki kecenderungan koruptif.
3.      Infrastruktur Politik
Komponen berikutnya yang dapat mendukung tegaknya demokrasi adalah infrastruktur politik. Infrastruktur politik terdiri dari:
a.       Partai politik, merupakan struktur kelembagaan politik yang anggota – anggotanya mempunyai orientasi, nilai- nilai dan cita- cita yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakan – kebijakanya.
b.      Kelompok gerakan yang lebih dikenal dengan sebutan organisasi masyarakat merupakan sekumpulan orang – orang yang berhimpun dalam satu wadah organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan warganya seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan sebagainya.
c.       Kelompok penekan atau kelompok kepentingan merupakan sekelompok orang dalam sebuah wadah organisasi yang didasarkan pada kriteria profesionalitas dan keilmuan tertentu seperti PGRI, PWI dan sebagainya.
C.    Prinsip dan Parameter Demokrasi
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi".  Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
1.       Kedaulatan rakyat;
2.       Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
3.       Kekuasaan mayoritas;
4.       Hak-hak minoritas;
5.       Jaminan hak asasi manusia;
6.       Pemilihan yang bebas, adil dan jujur;
7.       Persamaan di depan hukum;
8.       Proses hukum yang wajar;
9.       Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
10.   Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
11.   Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Demokrasi tidak sekedar wacana yang mengandung prinsip-prinsip di atas, ia mempunyai parameter yang digunakan sebagai ukuran apakah suatu negara atau pemerintahan bisa dikatakan demokratis atau sebaliknya. Sedikitnya tiga aspek dapat dijadikan landasan untuk mengukur sejauh mana demokrasi itu berjalan dalam suatu negara.
Parameter demokrasi antara lain:
a. Pemilihan umum
Hingga kini pemilihan umum diyakini oleh banyak kalangan ahli demokrasi sebagai salah satu instrument penting dalam proses pergantina pemerintahan
b. Dasar kekuasaan negara
Masalah ini menyangkut konsep legitimasi kekuasaan serta pertanggung jawabanya langsung kepada rakyat.
c. Susunan kekuasaan
Kekuasaan negara dijalankan secara distributif untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam satu tangan atau satu wilayah.
d. Kontrol rakyat
Suatu relasi kuasa yang berjalan secara sistematis, memiliki sambungan yang jelas dan adanya mekanisme yang memungkinkan kontrol dan keseimbangan (check and balance) terhadap kekuasaan yang dijalankan eksekutif dan legislatif.
D.    Sejarah Demokrasi
1. Demokrasi Barat
Berbicara demokrasi dalam pandangan barat tidak bisa dilepaskan dari konteks historis, karena konsep demokrasi sendiri memang berasal dari barat yang kemudian berkembang menjadi beberapa fase, yaitu:
a.       Fase Klasik
Pada fase ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi (democratia, dari demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants atau autocrats untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polisseharusnya dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para autocrats dan tyrants.
Dari buah pikiran merekalah  prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi yang paling keras karena dianggap dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis diserahkan kepada kelompok elite yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik atau yang dikenal dengan nama “the philosopher Kings”. Sebaliknya, Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis berkembang dan bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena pengertian warga (citizens) yang “egaliter” dan “bebas” pada kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas 20 th, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60000-80000 orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalam Polis kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang asing. Demikian pula, para warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses politik karena mereka tidak tergantung secara ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan imigran.
b.      Fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M)
Yang mengemuka pada fase ini adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternatif dari model absolutis.
Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan dan Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara, sedangkan Revolusi Perancis mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal.
c.       Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20)
Pada fase modern ini dapat disaksikan dengan bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan teori-teori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme, ideologi, hubungan antara negara dan masyarakat dsb. Disamping itu, terjadi perkembangan dalam sistem politik dan bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khusunya antara kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau membuat konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan penyelewengan.
Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau. Mill mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern (Parliamentary system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-komunis yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap sebagai “panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (withering away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum proletar.
Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran. Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.
Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi semakin kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa dan pertarungan ideologis yang melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh, kendatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain.
Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin mengarah kepada aspek prosedural, khususnya tata kelola pemerintahan (governance). Pemikir seperti Robert Dahl umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan memahami bagaimana warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada masalah proses-proses pemilihan umum atau kompetisi partai-partai politik, kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yan memiliki pengaruh kekuasaan.
Dengan hancurnya blok komunis/sosialis pada penghujung abad ke duapuluh, demokrasi seolah-olah tidak lagi memiliki pesaing dan diterima secara global. Fukuyama bahkan menyebut era paska perang dingin sebagai Ujung Sejarah (the End of History) di mana demokrasi (liberal), menurutnya, menjadi pemenang terakhir. Pada kenyataannya, sistem demokrasi di dunia masih mengalami persoalan yang cukup pelik karena komponen-komponen substantif dan prosedural terus mengalami penyesuaian dean tantangan. Kendati ideologi besar seperti sosialisme telah pudar, namun munculnya ideologi alternatif seperti fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb telah tampil sebagai pemain dan penantang baru terhadap demokrasi, khususnya demokrasi liberal.
Kondisi saat ini di mana globalisasi telah berlangsung, maka demokrasi pun mengalami pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun prkasis. Munculnya berbagai pemikiran dan gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi sistem politik demokrasi liberal, seperti gerakan feminisme, kaum gay, pembela lingkungan, dsb. Termasuk juga gerakan anti kapitalisme global yang bukan hanya berideologi kiri, tetapi juga dari kubu liberal sendiri, semakin menuntut terjadinya terobosan baru dalam pemikiran tentang demokrasi. Contoh yang dapat disebutkan disini adalah upaya mencari jalan ke tiga (the Third Way) yang menggabungkan liberalisme dan populisme di Eropa dan AS.
Indonesia sedang dalam proses tranformasi dari sistem otoriter menuju demokrasi sebagaimana dicita-citakan para pendirinya dalam konstitusi. Tak terelakkan lagi, diperlukan kemampuan dari para pekerja demokrasi untuk mencari varian demokrasi yang compatible dengan konteks yang dihadapi. Pemahaman tentang perkembangan pemikiran dan praksis demokrasi dari berbagai era dan wilayah dunia akan sangat membantu dalam usaha tersebut.
2.      Demokrasi Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari Pelaksanaan Demokrasi yang pernah ada di Indonesia. Pelaksanaan demokrasi di indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periodesasi antara lain :
a.       Pelaksanaan demokrasi pada masa revolusi (1945 – 1950)
Tahun 1945 – 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin kembali ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan oleh masih adanya revolusi fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbnyi sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden denan dibantu oleh KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah negara yang absolut pemerintah mengeluarkan :
1.      Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi lembaga legislatif.
2.      Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang Pembentukan Partai Politik.
3.      Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem pemerintahn presidensil menjadi parlementer
b.      Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde Lama
1.      Masa Demokrasi Liberal (1950 – 1959)
Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden sebagai lambang atau berkedudukan sebagai Kepala Negara bukan sebagai kepala eksekutif. Masa demokrasi ini peranan parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan berkembangnya partai-partai politik.
Namun demikian praktek demokrasi pada masa ini dinilai gagal disebabkan :
·         Dominannya partai politik
·         Landasan sosial ekonomi yang masih lemah
·         Tidak mampunyai konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950
Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959:
·         Bubarkan konstituante
·         Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950
·         Pembentukan MPRS dan DPAS
c.       Masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966)
Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan nasakom dengan ciri:
·         Dominasi Presiden
·         Terbatasnya peran partai politik
·         Berkembangnya pengaruh PKI
d.      Pelaksanaan demokrasi Orde Baru (1966 – 1998)
Dinamakan juga demokrasi pancasila. Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Orde Baru bertekad akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab:
·         Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada
·         Rekrutmen politik yang tertutup
·         Pemilu yang jauh dari semangat demokratis
·         Pengakuan HAM yang terbatas
·         Tumbuhnya KKN yang merajalela
Sebab jatuhnya Orde Baru:
·         Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi )
·         Terjadinya krisis politik
·         TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba
·         Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut Presiden Soeharto untuk turun jadi Presiden.
e.       Pelaksanaan Demokrasi Reformasi (1998 – Sekarang)
Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.
Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:
·         Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi
·         Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang Referandum
·         Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN
·         Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI
·         Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV
Pada Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemilihan umum sudah dua kali yaitu tahun 1999 dan tahun 2004.
E.     Islam dan Demokrasi
Esposito dan Piscatori (dalam Eko Taranggono, 2002) mengidentifikasi adanya tiga varian pemikiran mengenai hubungan Islam dan demokrasi, yaitu:
1)      Islam menjadi sifat dasar demokrasi, karena konsep syura, ijtihad, dan ijma’   merupakan konsep yang sama dengan demokrasi.
2)      Islam tidak berhubungan dengan demokrasi. Menurut pandangan ini, kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara muslim dan non muslim dan antara laki-laki dengan perempuan. Ini bertentangan dengan equalitynya demokrasi.
3)      Theodemocracy yang diperkenalkan oleh Al-Maududi yang berpandangan bahwa Islam merupakan dasar demokrasi. Meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan, tetapi perlu diakui bahwa kedaulatan rakyat merupakan subordinasi kedaulatan Tuhan.




BAB VII
HAK ASASI MANUSIA
A.    Sejarah HAM
Hak asasi manusia (HAM) dirumuskan sepanjang abad ke XVII dan XVIII ini mempengaruhi oleh gagasan hukum alam (Natural Law) seperti dirumuskan oleh John Lock (1632 – 1778), J.J Rouseau (1712 – 1778) yang hanya membatasi kebebasan dalam bidang politik saja. Timbulnya gagasan mengenai HAM ini pada dasarnya merupakan akibat dari berkembangnya aliran rasionalisme. Dalam bidang politik, pemikiran rasionalisme ingin mencari dasar – dasar yang rasional bagi kekuasaan. Rasionalisme menolak dasar pemikiran absolutisme, bahwa kekuasaan raja berdasarkan agama (Devine Right of Kings). Sebaliknya, rasionalisme berpendapat hubungan antara raja dengan rakyat berdasarkan pertimbangan rasional. Untuk ini mereka kembangkan teori kontrak sosial. Dalam teori ini manusia dianggap mempunyai beberapa hak alami yang perlu dilindungi jika manusia tersebut ingin hidup secara beradab dan bermasyarakat. Untuk memperoleh perlindungan tersebut, manusia bersedia menyerahkan sebagian dari hak itu kepada raja atau pemimpin atas dasar semacam kontrak dengan ketentuan, bahwa manusia bersedia mentaati raja dan sebaliknya raja melindungi hak – hak rakyat. Akibat pemikiran ini mempengaruhi kebanyakan konstitusi pada abad ke XIX dan XX dengan mencantum hak – hak manusia dalam UUD sebagai jaminan dalam pelaksanaannya.
Pada abad XX hak – hak politik di atas di anggap kurang sempurna dan mulai dicetuskan hak – hak lain yang cakupannya lebih luas. Salah satu diantaranya yang terkenal adalah 4 hak yang dirumuskan oleh presiden Amerika Serikat F.D Roosevelt, pada awal PD II yang dikenal nama The Four Freedoms (empat kebebesan) yaitu :
1. Kebebasan beragama,
2. Kebebasan dari ketakutan,
3. Kebebasan dari kemelaratan,
4. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat.

Selain dari pemikiran itu, maka PBB memprakarsai berdirinya sebuah komisi HAM yang diberikan namaCommission of Human Right pada tahun 1946. Komisi inilah yang kemudian menetapkan secara rinci beberapa hak – hak ekonomi dan sosial selain hak – hak politik yang dituangkan ke dalam Universal Declaration of Human Right (pernyataan dunia tentang HAM) yang di deklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948. Hak – hak tersebut yaitu :
1. Hak atas harta benda,
2. Larangan perbudakan,
3. Larangan penganiayaan,
4. Hak atas kebebasan bergerak,
5. Hak hidup bebas dan keamanan pribadi,
6. Hak atas turut serta dalam pemerintahan,
7. Hak atas pemeriksaan pengadilan yang jujur,
8. Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat,
9. Hak atas pengemukakan pendapat dan mencurahkan pikiran,
10.Hak atas kebebasan berpikir menyuarakan hati nurani dan beragama,
11.Larangan penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang –wenang.
Hal – hak sosial dan ekonomi yang penting dalam deklarasi tersebut yaitu :
1. Hak atas pekerjaan,
2. Hak atas pendidikan,
3.  Hak atas taraf hidup yang layak termasuk makanan, pakaian, perumahan dan kesehatan,
4.   Hak kebudayaan meliputi hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayan masyarakat, mengambil moral dan material yang timbul dalam dari hasil karya cipta seseorang dalam bidang ilmu kesusastraan maupun seni.
B. Pengertian HAM
HAM adalah hak – hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan dibawa sejak lahir.
HAM adalah hak –  hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan, 2002).
HAM adalah hak – hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci (Koentjoro Poerbapranoto, 1976 ).
Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa, HAM adalah hak – hak yang melekat pada setiap manusia yang tanpanya mustahil dapat hidup.
Dalam pasal 1 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah – Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah maupun setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
C. Macam-macam HAM
1. HAM Menurut Sifatnya
a. HAM klasik adalah hak yang timbul dari keberadaan manusia itu sendiri, contohnya hak hidup dan hak beragama.
b. HAM sosial adalah hak yang berhubungan dengan kebutuhan manusia, contohnya hak memperoleh sesuatu, pendidikan dan lain – lain.
2. HAM Menurut Bidangnya
a. Hak Asasi Pribadi (Personal Rights)
1) Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi,
2) Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat,
3) Hak kebebasan untuk bergerak, berpergian dan pindah – pindah tempat,
4)  Hak kebebasan untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama serta kepercayan yang diyakini masing – masing.
b. Hak Asasi Politik (Political Right)
1) Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan,
2) Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan,
3) Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi,
4) Hak membuat dan mendirikan parpol dan organisasi politik lainnya.
c. Hak Asasi Hukum (Legal Equality Right)
1) Hak untuk menjadi PNS,
2) Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum,
3) Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
d. Hak Asasi Ekonomi (Property Rigths)
1) Hak kebebasan untuk memiliki susuatu,
2) Hak kebebasan melakukan kegiatan jual –beli,
3) Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak,
4) Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaanyang layak,
5) Hak kebebasan menyelenggarakan sewa –menyewa, hutang – piutang.
e. Hak Asasi Peradilan (Procedural Rights)
1) Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan,
2) Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
f. Hak Asasi Sosial Budaya (Social Culture Right)
1) Hak mendapatkan pengajaran,
2) Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan,
3) Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.
D. Instrumen HAM
1. Undang – Undang
Pelaksanaan HAM di Indonesia telah diatur dalam perundang – undangan yaitu tercantum pada UUD 1945 BAB XA pasal 28A – 28J. Selain itu, di tingkat internasional diakui dalam Universal Declaration of Human Right.
2.      Lembaga
Lembaga diperlukan agar penanganan masalah HAM dapat lebih teratur dan dapat mengadukan pelanggaran HAM yang kita alami kepada lembaga tersebut. Beberapa lembaga yang menangani masalah pelanggran HAM dan penegakan HAM diantaranya Komnas HAM, kepolisian dan pengadilan.
3. Sumber Daya Manusia (SDM)
SDM ini tidak terbatas pada masyarakat saja, tetapi juga pada pemerintah, DPR, aparat penegak hukum lainnya. Penegakan HAM akan lebih mudah dilaksanakan, apabila SDMnya sadar akan HAM. Caranya yaitu dengan memberikan pendidikan tentang HAM melalui sekolah, media massa dan lain – lain.
E.     Pelanggaran HAM Di Indonesia
Menurut pakar hukum Adnan Buyung Nasution pelanggaran HAM dapat dikelompoan menjadi 4 golongan, yaitu :
1. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
a. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh,
b. Gerakan 30 September / PKI tahun 1965,
c. Kasus Timor – Timur pada tahun 1971 – 1977 dan 1982 – 1997,
d. Penembakan terhadap mahasiswa pada peristiwa Semanggi I dan II tahun 1998,
e. Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 dengan pembunuhan terhadap kelompok umat Islam,
f. Penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dengan gugur 4 orang pahlawan Revolusi.
2. Kejahatan Terhadap Integritas Orang
a. Penembakan misterius tahun 1982 – 1983,
b. Penghilangan orang (Timor – Timur) tahun 1977 – 1982,
c. Arbritory arrest dan dentemtion (komunis) tahun 1965 – 1971,
d. Arbritory arrest dan dentemtion (Peristiwa Malari) tahun 1971 – 1977,
e.  Peristiwa 27 Juli 1996 yaitu penyerbuan, perusakan dan pembunuhan pada markas PDI.
3. Tindakan Kekekrasan Terhadap Hak Sipil dan Politik
a. Kebijakan kemerdekaan berpendapat yang dilanggar,
b. Kemerdekaan berserikat dan berkelompok yang secara stematik dilanggar,
c. Kebijakan dari lembaga ekstra yudisial yang mencampai fungsi kehakiman,
4. Tindak Kekekrasan Terhadap Hak Sosial Ekonomi dan Budaya
a. Proses kemiskinan,
b. Pelanggaran terhadap lingkungan hidup,
c. Pelanggaran terhadap hak – hak masyarakat adat.
F. Pengadilan HAM   
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM meliputi :
1. Kejahatan Genosida
Adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara :
a.         Membunuh anggota kelompok,
b.        Memindahkan secara paksa anak – anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
c.         Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok,
d.        Memaksakan tindakan – tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok,
e.         Menciptakan kondisi kehidupan kelompok mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Adalah perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik dan diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa :
a.         Penyiksaan,
b.        Perbudakan,
c.         Pemusnahan,
d.        Pembunuhan,
e.         Kejahatan apartheid,
f.         Penghilangan orang secara paksa,
g.        Pengusiran penduduk secara paksa,
h.        Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang – wenang,
i.          Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa,
j.          Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional,






BAB VIII
GOOD GOVERNANCE
A.   Pengertian Good Governance
kata ‘good’ pada Good Governance bermakna:
1.      Berorientasi pada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
2.      Keberdayaan masyarakat dan swasta.
3.      Pemerintahan yang bekerja sesuai dengan hukum positif negara.
4.      Pemerintahan yang produktif, efektif dan efisien.
Sementara ‘governance’ nya bermakna:
1.      Penyelenggaraan pemerintah.
2.      Aktivitas pemerintah melalui fasilitas publik dan pelayanan publik.
Good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Terkandung substansi nilai:
·         Bagaimana pemerintah memimpin negara dengan bersih
·         Bagaimana masyarakat  mengatur dirinya sendiri secara mandiri
·         Bagaimana pemerintah dan masyarakat menyelenggarakan pemerintahan secara bertanggungjawab.
Istilah Good Governance pertama kali dipopulerkan oleh lembaga dana internasional seperti World Bank dan UNDP. World Bank mendefinisikan kata governance the way state power is used in managing economic and social resources for development society.Pengertian ini menggambarkan bahwa governance adalah cara, yakni cara kekuasaan negara untuk mengelola sumber-sumber daya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat. Cara ini lebih menunjukkan pada hal-hal yang bersifat teknis.
Sejalan dengan pendapat World Bank, UNDP (United Nation Development Program) mengemukakan definisi governance sebagai the exercise of political, economic and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels. Kata governance berarti penggunaan atau pelaksanaan, yaitu penggunaan kewenangan politik, ekonomi dan administratif untuk mengelola masalah-masalah nasional pada semua tingkatan. Disini, titik tekannya pada kewenangan, kekuasaan yang sah, atau kekuasaan yang memiliki legitimasi. Berdasarkan pengertian tersebut, World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi dan administratif dalam pengelolaan negara.
Menurut  Pierre Landell-Mills &Ismael Seregeldin mendefinisikan good governance sebagai penggunaan otoritas politik dan kekuasaan untuk mengelola sumber daya demi pembangunan sosial ekonomi. Sedangkan menurut Robert Charlickmengartikan ggo governance sebagai pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif melalui pembuatan peraturan dan/atau kebijakan yang absah demi untuk mempromosikan nilai-nilai kemasyarakatan.
Namun untuk ringkasnya Good Governance  pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘’baik’’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.
B.   Prinsip dan Pilar Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip didalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Prinsip-prinsip itu diantaranya adalah:
1.      Partisipasi (Participation)
Sebagai pemilik kedaulatan, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam proses bernegara, berpemerintahan, serta bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara langsung ataupun melalui institusi intermediasi, seperti DPRD, LSM, dan lainnya. Partisipasi yang diberikan dapat berbentuk buah pikiran, dana, tenaga, ataupun bentuk-bentuk lainnya yang bermanfaat. Partisipasi warga negara dilakukan tidak hanya pada tahapan implementasi, tetapi secara menyeluruh, mulai tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi, serta pemanfaatan hasil-hasilnya.
Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan, yaitu:
a.       Ada rasa kesukarelaan.
b.      Ada keterlibatan secara emosional.
c.       Memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatannya.
2.      Penegakan hukum (Rule of Law)
Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan demokrasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan tidak pandang bulu. Tanpa penegakan hukum yang tegas, tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, tetapi anarki. Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain dengan menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal penciptaan good governance adalah membangun sistem hukum yang sehat, baik perangkat lunaknya, perangkat kerasnya maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya.
3.      Transparansi (Transparancy)
Salah satu karakteristik good governance adalah keterbukaan. Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik, dari proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik, sampai pada tahapan evaluasi.
4.      Daya tanggap (responsiveness)
Sebagai konsekuensi logis dari keterbukaan, setiap komponen yang terlibat dalam proses pembangunan good governance harus memiliki daya tanggap terhadap keinginan atau keluhan para pemegang saham (stake holder). Upaya peningkatan daya tanggap tersebut, terutama ditujukan pada sektor publik yang selama ini cenderung tertutup, arogan, serta berorientasi pada kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan survei untuk mengetahui tingkat kepuasan konsumen (customer satisfaction).
5.      Berorientasi pada konsensus (consensus orientation)
Kegiatan bernegara, berpemerintahan, dan bermasyarakat pada dasarnya merupakan aktivitas politik, yang berisi dua hal utama, yaitu konflik dan konsensus. Dalam  good governance, pengambilan keputusan ataupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan berdasarkan konsensus, yang dilanjutkan dengan kesediaan untuk konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan bersama. Konsensus bagi bangsa indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena nilai dasar kita dalam memecahkan persoalan bangsa adalah melalui musyawarah untuk mufakat.
6.      Keadilan (equity)
Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi, karena kemampuan masing-masing warga negara berbeda-beda, sektor publik harus memainkan peranan agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring sejalan.
7.      Efektif dan efisien (efectiveness and efficiency)
Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia, kegiatan ketiga domain dan governance harus mengutamakan efektivitas dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan efisiensi terutama ditujukan pada sektor publik karena sektor ini menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa kompetisi, tidak akan ada efisiensi.
8.      Akuntabilitas (accountability)
Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu mempertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja, tetapi juga pada para pemegang saham yaitu masyarakat luas. Secara teoritis, akuntabilitas dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu:
a.       Akuntabilitas organisasi
b.      Akuntabilitas legal
c.       Akuntabilitas politik
d.      Akuntabilitas profesional
e.       Akuntabilitas moral
9.      Visi strategis (strategic vision)[1]
Dalam era yang berubah secara dinamis, setiap domain dalam good governance harus memiliki visi yang strategis. Tanpa visi semacam itu, suatu bangsa dan negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu, dapat dibedakan antara visi jangka panjangm (long time vision) antara 20 sampai 25 tahun serta visi jangka pendek (short time vision) sekitar 5 tahun.
Prinsip-prinsip good governance pada dasarnya mengandung nilai yang bersifat objektif dan universal yang menjadi acuan dalam menentukan tolak ukur atau indikator dan ciri-ciri/karakteritik penyelenggaraan pemrintahan negara yang baik. Prinsip-prinsip good governance dalam praktik penyelenggaraan negara dituangkan dalam tujuh asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Berih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Prinsip atau asas umum dalam penyelenggaraan negara yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 meliputi sebagai berikut:
1.      Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan  peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan enyelenggaraan negara.
2.      Asas tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3.      Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4.      Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif, tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan  dan rahasia negara.
5.      Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan negara.
6.      Asas profersionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.      Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Disamping itu, juga terdapat pilar-pilar good governance diantaranya:
1)      Negara atau pemerintahan (state), berfungsi dalam hal:
a. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil
b. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan
c. Menyediakan public service yang efektif dan accountable
d. Menegakkan HAM
e. Melindungi lingkungan hidup
f. Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik.
2) Sektor swasta atau dunia usaha (private sector), berfungsi dalam hal:
a. Menjalankan industri
b. Menciptakan lapangan kerja
c. Menyediakan insentif bagi karyawan
d. Meningkatkan standar hidup masyarakat
e. Memelihara lingkungan hidup
f. Menaati peraturan
g. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat
h. Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM
3) Masyarakat (society), berfungsi dalam hal:
a. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi
b. Mempengaruhi kebijakan public
c. Sebagai sarana cheks and balances pemerintah
d. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah
e. Mengembangkan SDM
f. Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat
Pada negara yang sedang berkembang yang sektor swasta dan sektor masyarakat relatif belum maju, sektor pemerintah memegang peranan yang sangat menentukan. Sektor pemerintah harus bertindak sebagai promotor pembangunan. Pada saatnya apabila sektor swasta dan sektor masyarakat semakin maju karena pembangunan, peranan sektor pemerintah secara bertahap mulai berkurang. Tarik-menarik peranan antara sektor pemerintah dan sektor swasta dan sektor masyarakat apabila tidak dikelola secara bijak akan dapat menimbulkan berbagai ketegangan sosial. Dalam hal ini diperlukan pimpinan nasional yang memiliki dukungan legitimasi politik yang kuat, memiliki kharisma, serta kemampuan mnajerial untuk mengendalikan perubahan.
C. Hubungan antara Good Governance dengan Otonomi Daerah
Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan pemerintah untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan penyimpangan.
Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi satu sama lainnya, yaitu :
1. Urusan Pemerintahan
2. Kelembagaan
3 Personil
4. Keuangan
5. Perwakilan
6. Pelayanan Publik
7. Pengawasan.
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dan dikembangkan serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 Tahun 2004. Namun disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan Otonomi Khusus NAD, dari Papua penataan daerah dari wilayah perbatasan , serta pemberdayaan masyarakat.Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan langkah-langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang ada saat ini.
Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat sangat berperan, dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan kepala daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Peraturan daerah pun telah masuk dalam Tata urutan peraturan perundang - undangan nasional (UU no 10 tahun 2004), Pengawasan oleh masyarakat.
Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaran pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban Kepala Daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni, akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak mempunyaidampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka stabilitas penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga.
Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi dengan cara: Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan. Dengan demikian, jelas bahwa Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dipersiapkan untuk menjadi instrumen yang diharapkan dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan konsep good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan di indonesia.




D. Optimalisasi Pelaksanaan Otonomi Daerah melalui Good Governance
            Good governance dapat ditinjau sebagai bentuk pergeseran paradigma konsepgoverment (pemerintah) menjadi governance (kepemerintahan). Secara epistemologis, perubahan paradigma goverment berwujud pada pergeseran mindset dan orientasi birokrasi sebagai unit pelaksana dan penyedia layanan bagi masyarakat, yang semula birokrat melayani kepentingan kekuasaan menjadi birokrat yang berorientasi pada pelayanan publik.
            Salah satu bentuk layanan tersebut adalah penertiban regulasi yang dapat menciptakan suasana yang kondusif bagi masyarakat. Akan tetapi, sebelum lebih jauh kita  menelaah kiat-kiat dalam menciptakan regulasi yang kondusif, tidak ada salahnya apabila kita memulainya dengan memahami terlebih dahulu beberapa konsep dasar dalam kebijakan publik.
            Dalam kacamata awam, pemerintahan yang baik identik dengan pemerintahan yang mampu memberikan pendidikan gratis, membuka banyak lapangan kerja, mengayomi fakir miskin, menyediakan sembako murah, memberikan iklik investasi yang kondusif dan bermacam kebaikan lainnya. Dengan kata lain, pemerintah dianggap baik apabila ia mampu melindungi dan melayani masyarakatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan umum yang berkualitas merupakan ukuran untuk menilai sebuah pemerintahan yang baik, sedangkan pelayanan umum yang buruk lebih mencerminkan  pemerintahan  yang miskin inovasi dan tidak memiliki keinginan untuk menyejahterakan masyarakatnya (bad governance).
            Berbicara tentang good governance biasanya lebih dekat dengan masalah pengelolaan manajemen pemerintahan dalam membangun kemitraan dengan stake holder (pemangku kepentingan). Oleh karena itu, good governance menjadi sebuah kerangka konseptual tentang cara memperkuat hubungan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam nuansa kesetaraan. Hubungan yang harmonis dalam nuansa kesetaraan merupakan prasyarat yang harus ada. Sebab, hubungan yang tidak harmonis antara ketiga pilar tersebut dapat menghambat kelancaran proses pembangunan.





BAB  IX
OTONOMI DAERAH
A. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). 
Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). 
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi derah adalah hak ,wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Suparmoko (2002:61) mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Otonomi daerah dengan sistem desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam rangka negara kesatuan. Desentralisasi mengandung segi positif dalam penyelenggaraan pemerintahan baik dari sudaut politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan, karena dilihat dari fungsi pemerintahan. Sedangkan otonomi daerah dengan sistem dekonsentrasi adalah peimpahan wewenang dari pemerintahan kepada daerah otonom sebagai wakil pemerintah dan perangkat pusat di daerah dalam kerangka negara kesatuan, dan lembaga yang melimpahkan kewenangan dapat memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi kewenangan itu mengenai pengambilan atau pembuatan keputusan.
B.     Hakikat Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Berkaiatan dengan hakekat otonomi daerah tersebut yang berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat maka peranan data keuangan daerah sangat dibututuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk meliahat kemampuan/ kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)
C.    Prinsip Otonomi Daerah
Menurut penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah : penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keaneka ragaman daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah dan daerah kota, sedangkan otonomi provinsi adalah otonomi yang terbatas. Pelaksanaan otonomi harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah kabupaten dan derah kota tidak lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan, mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggaraan otonomi daerah. Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya di pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan, sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini: 
1.      UU No. 1 tahun 1945Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat. 
2.      UU No. 22 tahun 1948Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat. 
3.      UU No. 1 tahun 1957Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat. 
4.      Penetapan Presiden No.6 tahun 1959Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
5.      UU No. 8 tahun 1965Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja 
6.      UU No. 5 tahun 1974 Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional. 
7.      UU No. 22 tahun 1999 Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
D. Dasar Hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Dasar Hukum Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni : 
1.       Undang-undang Dasar. Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah. 
2.       Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, erta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
3.       Undang-Undang Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. 
Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal. 
Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut : 
1.Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. 
3. Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus. 
4. Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 th 1974 sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99 kedudukanya diubah menjadi perangkat daerah Kabupaten atau daerah Kota. 
E. Tujuan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Menurut Mardiasmo (Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah) adalah: Untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dam memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu:
·         Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
·         Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.
·         Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Selanjutnya tujuan otonomi daerah menurut penjelasan Undang-undang No 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah sama yaitu otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal.
F.     Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah  
Dampak positif dalam bidang politik adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah lebih aktif dalam mengelola daerahnya.
Tetapi, dampak negatif yang terlihat dari sistem ini adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.
Untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah, diperlukan dana yang tidak sedikit. Akan tetapi, tidak semua daerah mampu mendanai sendiri jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu, Pemerintah harus mampu membagi adil dan merata hasil potensi masyarakat. Agar adil dan merata, diperlukan aturan yang baku.





BAB X
MASYARAKAT MADANI
A.    Pengertian Masyarakat Madani
            Pengertian Masyarakat Madani menurut para ahli:
1.      Mun’im (1994) mendefinisikan istilah Øcivil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antarindividu, masyarakat, dan negara.
2.       Hefner menyatakan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat modern yang bercirikan demokratisasi dalam beriteraksi di masyarakat yang semakin plural dan  heterogen. Dalam keadan seperti ini masyarakat diharapkan mampu mengorganisasi dirinya, dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.
3.      Mahasin (1995) menyatakan bahwa masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa Inggris, Øcivil society. Kata civil society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu civitas dei yang artinya kota Illahi dan society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan sebagai komunitas masyarakat kota yakni masyarakat yang telah berperadaban maju.
 Istilah madani menurut Munawir (1997) sebenarnya berasal dari bahasa Arab,Ømadaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadimadaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid (1997) kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur.
Hall (1998) mengemukakan bahwa masyarakat madani identik dengan civil society, artinya suatu ide, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dapat terjewantahkan dalam kehidupan sosial. Pada masyarakat madani pelaku social akan bepegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan.
Intinya, berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki multimakna atau bermakna ganda yaitu: demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparansi, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsistensi, memiliki perbandingan, komparasi, mampu berkoordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, mengakui emansipasi, dan hak asasi, sederhana,namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Dengan mengetahui makna madani, maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau berfaham masyarakat kota yang pluralistik.
B.     Manfaat Masyarakat Madani
Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya masyarakat madani ialah terciptanya masyarakat Indonesia yang demokratis sebagai salah satu tuntutan reformasi di dalam negeri dan tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan mendorong munculnya inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan. Selanjutnya, dengan terwujudnya masyarakat madani, maka persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia seperti: konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian “kue bangsa” antara pusat dan daerah, saling curiga serta ketidakharmonisan pergaulan antarwarga dan lain-lain yang selama Orde Baru lebih banyak ditutup-tutupi, direkayasa dan dicarikan kambing hitamnya itu  diharapkan dapat diselesaikan secara arif, terbuka, tuntas, dan melegakan semua pihak, suatu prakondisi untuk dapat mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah.
Guna mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan motivasi yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Hal ini intinya menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat madani diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen masing-masing warganya untuk mereformasi diri secara total dan selalu konsisten dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan toleransi sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi.
C.    Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani
Istilah masyarakat madani dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil society pertama kali dikemukan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis yang identik dengan negara. Rahadrjo (1997)  menyatakan bahawa istilah civil society sudah adasejak zaman sebelum masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil society adalah Cicero (104-43 SM), sebagai oratur yunani.Civil society  menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka dipahami bukan hanya sekadar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan.
Filsuf yunani Aristoteles (384-322 M) yang memandang masyarakat sipil sebagai suatu sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri, pandangan ini merupakan Fase pertama sejarah wacana civil society, yang berkembang dewasa ini, yakni masyarakat sivil diluar dan penyeimbang lembaga negara, pada masa ini civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
Fase kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society, dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, ia lebih menekankan visi etis pada civil society, dalam kehidupan sosial, pemahaman ini lahir tidak lepas dari pengaruh revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok.
Fase ketiga, berbeda dengan pendahulunya, pada tahun 1792 Thomas Paine memaknai wacana civil society sebagai suatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagain anitesis negara, bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi, menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka, konsep negera yang absah, menurut pemikiran ini adalah perwujudkan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama.
Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M), Karl Max (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). dalam pandangan ketiganya, civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan, pemahaman ini adalah reaksi atau pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara, pandangan ini, menurut pakar politik Indonesia Ryass Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi Eropa yang pertumbuhannya ditandai oleh pejuang melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.
Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis dengan Tocqueville (1805-1859), bersumber dari pengalamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, ia memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara, menurutnya kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat.
Di Indonesia, pengertian masyarakat madani pertama kali diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim (mantan Deputi PM Malaysia) dalam festival Istiqlal 1995. Oleh Anwar Ibrahim dinyatakan bahwa masyarakat madani adalah: Sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan, mengikuti undang – undang dan bukan nafsu atau keinginan individu, menjadikan keterdugaan serta ketulusan.
Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal pergerakan kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999). Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien Rais dari Yogyakarta.
D.    Ciri-Ciri Masyarakat Madani
Ciri utama masyarakat madani adalah demokrasi. Demokrasi memilikikonsekuensi luas di antaranya menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam sistem politik dengan organisasi-organisasi politik yang independen sehingga memungkinkan kontrol aktif dan efektif dari masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan, dan sekaligus masyarakat sebagai pelaku ekonomi pasar.
Hidayat Nur Wahid mencirikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang memegang teguh ideology yang benar, berakhlak mulia, secara politik-ekonomi-budaya bersifat mandiri, serta memiliki pemerintahan sipil.
Sedangkan menurut Hikam, ciri-ciri masyarakat madani adalah :
·         Adanya kemandirian yang cukup tinggi diantara individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat terhadap negara.
·         Adanya kebebasan menentukan wacana dan praktik politik di tingkat publik.
·         Kemampuan membatasi kekuasaan negara untuk tidak melakukan intervensi.
Karakteristik masyarakat madani adalah sebagai berikut :
Free public sphere(ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain.
Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan             Yang Maha Kuasa.
Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
E.     Masyarakat Madani di Indonesia
Indonesia memiliki tradisi kuat civil society (masyarakat madani) bahkan jauh sebelum negara bangsa berdiri, masyarakat sipil telah berkembang pesat yang diwakili oleh kiprah beragam organisasi sosial keagamaan dan pergerakan nasional dalam dalam perjuangan merebut kemerdekaan, selain berperan sebagai organisasi perjuangan penegakan HAM dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, organisasi berbasis islam, seperti Serikat Islam (SI), Hahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, telah menunjukan kiprahnya sebagai komponen civil society yang penting dalam sejarah perkembangan masyarakat sipil di Indonesia.
Terdapat beberapa strategi yang ditawarkan kalangan ahli tentang bagaimana seharusnya bangunan masyarakat madani bisa terwujud di Indonesia :
·         Pandangan integrasi nasional dan politik. Pandangan ini menyatakan bahwa sistem demokrasi tidak munkin berlangsung dalam kenyataan hidup sehari-hari dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran dalam hidup berbangsa dan bernegara.
·         Pandangan reformasi sistem politk demokrasi, yakni pandangan yang menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada pembangunan ekonomi, dalam tataran ini, pembangunan institusi politik yang demokratis lebih diutamakan oleh negara dibanding pembangunan ekonomi.
·         Paradigma membangun masyarakat madani sebagai basis utama pembangunan demokrasi, pandangan ini merupakan paradigma alternatif di antara dua pandangan yang pertama yang dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi, berbeda dengan dua pandangan pertama, pandangan ini lebih menekankan proses pendidikan dan penyadaran politik warga negara, khususnya kalangan kelas menengah.
Bersandar pada tiga paradigma diatas, pengembangan demokrasi dan masyarakat madani selayaknya tidak hanya bergantung pada salah satu pandangan tersebut, sebaliknya untuk mewujudkan masyarakat madani yang seimbang dengan kekuatan negara dibutuhkan gabungan strategi dan paradigma, setidaknya tiga paradigma ini dapat dijadikan acuan dalam pengembangan demokrasi di masa transisi sekarang melalui cara :
ü  Memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah untuk berkembang menjadi kelompok masyarakat madani yang mandiri secara politik dan ekonomi, dengan pandangan ini, negara harus menempatkan diri sebagai regulator dan fasilitator bagi pengembangan ekonomi nasional, tantangan pasar bebas dan demokrasi global mengharuskan negara mengurangi perannya sebagai aktor dominan dalam proses pengembangan masyarakat madani yang tangguh.
ü  Mereformasi sistem politik demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lembaga demokrasi yang ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi, sikap pemerintah untuk tidak mencampuri atau mempengaruhi putusan hukum yang dilakukan oleh lembaga yudikatif merupakan salah satu komponen penting dari pembangunan kemandirian lembaga demokrasi.
ü  Penyelenggaraan pendidikan politik (pendidikan demokrasi) bagi warga negara secara keseluruhan. Pendidikan politik yang dimaksud adalah pendidikan demokrasi yang dilakukan secara terus-menerus melalui keterlibatan semua unsur masyarakat melalu prinsip pendidikan demokratis, yakni pendidikan dari, oleh dan untuk warga negara.
Kondisi Indonesia yang dilanda euforia demokrasi, semangat otonomi daerah dan derasnya globalisasi membutuhkan masyarakat yang mempunyai kemauan dan kemampuan hidup bersama dalam sikap saling menghargai, toleransi, dalam kemajemukan yang tidak saling mengeksklusifkan terhadap berbagai suku, agama, bahasa, dan adat yang berbeda. Kepedulian, kesantunan, dan setiakawan merupakan sikap yang sekaligus menjadi prasarana yang diperlukan bangsa Indonesia.
Pengembangan masyarakat madani di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri. Kebudayaan, adat istiadat, pandangan hidup, kebisaan, rasa sepenanggungan, cita-cita dan hasrat bersama sebagai warga dan sebagai bangsa, tidak mungkin lepas dari lingkungan serta sejarahnya. Keunggulan bangsa Indonesia, adalah berhasilnya proses akulturasi dan inkulturasi yang kritis dan konstruktif. Pada saat ini, ada pertimbangan lain mengapa pengembangan masyarakat madani secara khusus kita beri perhatian.
Untuk membangun masyarakat madani di Indonesia, ada enam faktor harus diperhatikan, yaitu:
a.       Adanya perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat, dan dapat mendukung kegiatan pemerintahan.
b.      Tumbuhnya intelektualitas dalam rangka membangun manusia yang memiliki komitmen untuk independen.
c.       Terjadinya pergeseran budaya dari masyarakat yang berbudaya paternalistik menjadi budaya yang lebih modern dan lebih independen.
d.      Berkembangnya pluralisme dalam kehidupan yang beragam.
e.       Adanya partisipasi aktif dalam menciptakan tata pamong yang baik.
f.       Adanya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang melandasi moral kehidupan.
F.     Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Madani
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi masyarakat madani, yaitu faktor pendorong dan faktor penghambat.
Beberapa faktor pendorong timbulnya masyarakat madani:
ü  Adanya penguasa politik yang cenderung mendominasi (menguasai) masyarakat agar patuh dan taat pada penguasa.
ü  Masayarakat diasumsikan sebagai orang yang tidak memilkik kemampuan yang baik (bodoh)  dibandingkan dengan penguasa ( pemerintah).
ü  Adanya usaha untuk membatasiruang gerak dari masyarakat dalam kehidupan poitik. Keadaan ini sangat menyulitkan bagi masyarakat untuk  mengemukakan pendapat, karena ruang publik yang bebaslah individu berada dalam posisi setara, dan melakukan transaksi.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya :
a.       Kualitas Sumber Daya Manusiayang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.
b.      Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
c.       Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
d.      Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas.
e.       Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.
f.       Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi.
G.    Solusi Mengatasi Masalah
Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah dengan melakukan demokratisasi pendidikan. Masyarakat madani perlu segera diwujudkan karena bermanfaat untuk meredam berbagai tuntutan reformasi dari dalam negeri maupun tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan muncul inovasi-inovasi pendidikan dan menghindari terjadinya disintegrasi bangsa.
Untuk mewujudkan masyarakat madani dalam jangka panjang adalah dengan cara melakukan demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan ialah pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Melalui demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajarnya. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik. Pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya. Demokrasi sendiri adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu fungsi-fungsi kekuasaan politik merupakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa depannya ditentukan oleh dan untuk rakyat, sedangkan demokratisasi ialah proses menuju demokrasi. Tujuan demokratisasi pendidikan ialah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik-praktik demokrasi.
Generasi penerus sebagai anggota masyarakat harus benar-benar disiapkan untuk membangun masyarakat madani yang dicita-citakan. Masyarakat dan generasi muda yang mampu membangun masyarakat madani dapat dipersiapkan melalui pendidikan. Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah melalui jalur pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Generasi penerus merupakan anggota masyarakat madani di masa mendatang. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali cara-cara berdemokrasi melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan berguna untuk menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab, turut bertanggung jawab, terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki, sama-sama merasakan suka dan duka dengan masyarakatnya, dan mempelajari kehidupan masyarakat. Kelak jika generasi penerus ini menjadi pemimpin bangsa, maka demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya akan mengajarkan kepadanya bahwa seseorang penguasa tidak boleh terserabut dari budaya dan rakyatnya, pemimpin harus senantiasa mengadakan kontak dengan rakyatnya, mengenal dan peka terhadap tuntutan hati nurani rakyatnya, suka dan duka bersama, menghilangkan kesedihan dan penderitaan-penderitaan atas kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya. Upaya ke arah ini dapat ditempuh melalui demokratisasi pendidikan. Dengan komunikasi struktural dan kultural antara pendidik dan peserta didik,  maka akan terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggung jawab.






DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar