DIKTAT
Untuk memenuhi tugas Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Dosen : Aep Saepuloh, M.Si.

Disusun :
Nama : Nurillah Novia Hermaniawati
NIM : 1147020048
Kelas : Biologi 1.B
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) memiliki peran
penting dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut William Galston, pendidikan kewarganegaraan per definsi adalah
pendidikan_di dalam dan demi_ tatanan politik yang ada (Felix Baghi,
2009). Pendidikan kewarganegaraan adalah bentuk pengemblengan
individu-individu agar mendukung dan memperkokoh komunitas politiknya sepanjang
komunitas politik itu adalah hasil kesepakatan. Pendidikan kewarganegaraan
suatu negara akan senantiasa dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tujuan pendidikan
(educational values and aims) sebagai faktor struktural utama (David Kerr,
1999). Pendidikan kewarganegaraan bukan semata-mata membelajarkan fakta tentang
lembaga dan prosedur kehidupan politik tetapi juga persoalan jatidiri dan
identitas suatu bangsa (Kymlicka, 2001).
Berdasar hal di atas, pendidikan kewarganegaraan di Indonesia juga
berkontiribusi penting dalam menunjang tujuan bernegara Indonesia.
Pendidikan kewarganegaraan secara sistematik adalah dalam rangka
perwujudan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD
NRI 1945 Pendidikan kewarganegaraan berkaitan dan berjalan seiring dengan
perjalanan pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan
kewarganegaraan merupakan bagian integral dari ide, instrumentasi, dan praksis
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia (Udin Winataputra,
2008). Bahkan dikatakan, pendidikan nasional kita hakikatnya adalah pendidikan
kewarganegaraan agar dilahirkan warga negara Indonesia yang berkualitas baik
dalam disiplin sosial dan nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas
kerja, dalam kemampuan intelektual dan profesional, dalam tanggung jawab
kemasyarakatan, kebangsaan, kemanusiaan serta dalam moral, karakter dan
kepribadian (Soedijarto, 2008).
Pendidikan kewarganegaraan di manapun pada dasarnya bertujuan
membentuk warga negara yang baik (good citizen) (Somantri, 2001; Aziz Wahab,
2007; Kalidjernih, 2010). Namun konsep “warga negara yang baik”
berbeda-beda dan sering berubah sejalan dengan perkembangan bangsa yang
bersangkutan. Dalam konteks tujuan pendidikan nasional dewasa ini, warga negara
yang baik yang gayut dengan pendidikan kewarganegaraan adalah warga negara yang
demokratis bertanggung jawab (Pasal 3) dan warga negara yang memiliki semangat
kebangsaan dan cinta tanah air (pasal 37 Undang-Undang No 20 Tahun 2003).
Dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia adalah
membentuk warga negara yang demokratis bertanggung jawab, memiliki semangat
kebangsaan dan cinta tanah air.
Pendidikan kewarganegaraan merupakan bidang yang lintas keilmuan
(Udin Winataputra, 2001) atau bidang yang multidisipliner (Sapriya, 2007).
Sebagai bidang yang multidimensional, pendidikan kewarganegaraan dapat memuat
sejumlah fungsi antara lain; sebagai pendidikan politik, pendidikan hukum dan
pendidikan nilai (Numan Somantri, 2001); pendidikan demokrasi (Udin
Winataputra, 2001); pendidikan nilai, pendidikan demokrasi, pendidikan moral
dan pendidikan Pancasila (Suwarma, 2006), pendidikan politik hukum kenegaraan
berbangsa dan bernegara NKRI, sebagai pendidikan nilai moral Pancasila dan
Konstitusi NKRI, pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) NKRI dan
sebagai pendidikan kewargaan negara (civic education) NKRI (Kosasih Djahiri,
2007); dan sebagai pendidikan demokrasi, pendidikan karakter bangsa,
pendidikan nilai dan moral, pendidikan bela negara, pendidikan politik, dan
pendidikan hukum (Sapriya, 2007). Fungsi yang berbeda-beda tersebut
sejalan dengan karakteristik “warga negara yang baik” yang hendak diwujudkan.
Selain memuat beragam fungsi, pendidikan kewarganegaraan memiliki 3
domain/ dimensi atau wilayah yakni sebagai program kurikuler, program sosial
kemasyarakatan dan sebagai program akademik (Udin Winataputra, 2001; Sapriya,
2007). Pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler adalah pendidikan
kewarganegaraan yang dilaksanakan di sekolah atau dunia pendidikan yang
mencakup program intra, ko dan ekstrakurikuler. Sebagai program kurikulum
khususnya intra kurikuler, pendidikan kewarganegaraan dapat diwujudkan dengan
nama pelajaran yang berdiri sendiri (separated) atau terintegrasi dengan mata
pelajaran yang lain (integratied). Sebagai program sosial kemasyarakatan adalah
pendidikan kewarganegaraan yang dijalankan oleh dan untuk masyarakat.
Pendidikan kewarganegaraan sebagai program akademik adalah kegiatan ilmiah yang
dilakukan komunitasnya guna memperkaya body of knowledge pkn itu
sendiri.
B.
Mata kuliah PKn di Perguruan Tinggi
Kewarganegaraan (PKn)
sebagai nama mata kuliah di perguruan tinggi merupakan perwujudkan dari
pendidikan kewarganegaraan (pkn) dalam dimensi kurikuler khususnya kegiatan
intra kurikuler. Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi dimunculkan
sebagai mata kuliah tersendiri, tidak terintegrasi dengan mata kuliah lain.
Ia dapat dikatakan sebagai nama species, sedang genusnya adalah
pkn itu sendiri. Ia adalah nama diri bukan nama jenis. Secara
kebetulanspecies atau nama diri sama dengan nama genus atau nama jenisnya
yakni PKn.
Namun demikian, pengalaman penyelenggaraan pendidikan
kewarganegaraan di perguruan tinggi di Indonesia pernah diwujudkan dengan
berbagai nama diri atau species yang berbeda-beda. Pendidikan kewarganegaraan
pernah diwujudkan dengan nama mata kuliah Filsafat Pancasila, Kewiraan,
Pendidikan Pancasila dan PKn. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah ada
pelajaran Civics, PKN, PMP, PSPB, PPKn, Kewarganegaraan , PKPS, dan PKn.
Perkembangan baru menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan di
perguruan tinggi dimunculkan dengan dua mata kuliah yang berbeda
yakni Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dengan merujuk pada SK Dirjen
Dikti No. 43 Tahun 2006 danPendidikan Pancasila (PP) mendasarkan pada SE
Dirjen Dikti No. 914/E/T/2011.
Kedua mata kuliah tersebut pada hakekatnya merupakan pendidikan
kewarganegaraan sebagai program kurikuler pada jenjang pendidikan tinggi
di Indonesia yang juga sama-sama bertujuan membentuk warga negara yang
baik (good citizen). Oleh karena itu untuk menghindari
terjadinya overlapping antara keduanya, perlu dirumuskan konsep warga
negara yang baik yang hendak dikembangkan oleh kedua mata kuliah ini. Hal
demikian juga perlu pemberian penekanan fungsi yang berbeda dari kedua
mata kuliah.
Jika merujuk pada tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan
kewarganegaraan yang terdapat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003, maka
terungkap bahwa fungsi pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi
adalahsebagai pendidikan demokrasi dan pendidikan kebangsaan. Sebagai
pendidikan demokrasi karena bertujuan membentuk warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab (pasal 3), dan sebagai pendidikan kebangsaan karena
bertujuan membentuk warga negara yang memiliki semangat kebangsaan dan cinta
tanah air (pasal 37). Jika demikian, dengan sederhana dapat diusulkan mata
kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memuat fungsi sebagai pendidikan
demokrasi, sedang mata kuliah Pendidikan Pancasila mengemban fungsi
sebagai pendidikan kebangsaan. Jika dua fungsi ini telah ditetapkan dan
terbedakan maka selanjutnya dapat dikembangkan sejumlah materi pembelajaran
(instructional material) yang dapat mendukung fungsi dari mata kuliah tersebut.
Fungsi dari mata kuliah tersebut sekaligus menunjukkan jatidiri mata kuliah
yang bersangkutan.
Namun demikian, jika hanya dua fungsi pendidikan yang diemban oleh
kedua mata kuliah tersebut, bagaimana dengan fungsi-fungsi lain yang
sesungguhnya juga bisa dimuat oleh pendidikan kewarganegaraan sebagai program
kurikuler? Misal, fungsinya sebagai pendidikan kesadaran hukum, pendidikan
nilai moral/karakter, pendidikan HAM, pendidikan multikultural, pendidikan anti
korupsi, pendidikan kesadaran lingkungan, pendidikan kewarganegaraan (civic
education) dalam arti sempit.
Apabila memang diinginkan bahwa kedua mata kuliah tersebut memuat
pula sejumlah fungsi pendidikan di atas, perlu pemetaan ulang dan pembedaan
fungsi yang diemban, sehingga_sekali lagi_tidak terjadi overlapping.
Sebab jika terjadi tumpang tindih rumusan fungsinya akan berpengaruh pula
pada overlapping materi pembelajarannya.
Berdasar masalah di atas, menurut hemat penulis, Pendidikan
Pancasila lebih baik memuat fungsi atau jatidirinya
sebagai pendidikan nilai/moral atau karakter danpendidikan kesadaran
hukum, termasuk kesadaran berkonstitusi. Sebab secara konseptual, Pancasila
merupakan jatidiri bangsa yang didalamnya memuat nilai-nilai luhur bangsa. Di
samping itu Pancasila sebagai dasar negara memiliki implikasi yuridis sebagai
sumber hukum yang nantinya tercermin dalam UUD 1945. Sementara
itu,PKn dapat mengemban fungsi sebagai pendidikan kebangsaan dan pendidikan
demokrasi, ditambahkan sebagai pendidikan HAM, multikultural dan pendidikan
kewarganegaraan dalam arti sempit.
Dengan demikian, apabila jatidiri dari kedua mata kuliah tersebut
sudah jelas dan terbedakan, maka akan lebih mudah untuk merumuskan kompetensi
(tujuan pembelajaran) dan isi (materi pembelajaran) dari mata kuliah
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi.
Oleh karena itu di bawah ini, penulis akan mencoba merumuskan
sejumlah visi, misi, , tujuan, kompetensi dan materi pendidikan dari PKn dalam
fungsinya sebagai pendidikan kebangsaan, pendidikan demokrasi, pendidikan HAM,
multikultural dan pendidikan kewarganegaraan dalam arti sempit.
C.
Visi Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Sebagai kelompok matakuliah pengembangan kepribadian yang memberi
orientasi bagi mahasiswa dalam memantapkan wawasan dan kesadaran
kebangsaan, cinta tanah air, demokrasi , penghargaan atas keragamaan dan
partisipasinya membangun bangsa berdasar Pancasila
D.
Misi Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Sebagai kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian yang
menyelenggarakan pendidikan kebangsaan, demokrasi , HAM, multikulural dan
kewarganegaraan kepada mahasiswa guna mendukung terwujudnya warga negara yang
cerdas, trampil dan berkarakter sehingga dapat diandalkan guna membangun bangsa
dan negara berdasar Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan bidang keilmuan dan
profesinya.
E. Tujuan
Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
1.
Memiliki wawasan dan kesadaran kebangsaan dan rasa cinta tanah air
sebagai perwujudan warga negara Indonesia yang bertanggung jawab atas
kelangsungan hidup bangsa dan negara
2.
Memiliki wawasan dan penghargaan terhadap keanekaragaman masyarakat Indonesia
sehingga mampu berkomunikasi baik dalam rangka meperkuat integrasi nasional
3.
Memiliki wawasan, kesadaran dan kecakapan dalam melaksanakan hak, kewajiban,
tanggung jawab dan peran sertanya sebagai warga negara yang cerdas, trampil dan
berkarakter
4.
Memiliki kesadaran dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia serta
kewajiban dasar manusia sehingga mampu memperlakukan warga negara secara adil
dan tidak diskriminatif
5.
Berpartisipasi aktif membangun masyarakat Indonesia yang demokratis
dengan berlandaskan pada nilai dan budaya demokrasi yang bersumber pada
Pancasila
6.
Memiliki pola sikap, pola pikir dan pola perilaku yang mendukung
ketahanan nasional serta mampu menyesuaikannya dengan tuntutan perkembangan
zaman demi kemajuan bangsa
BAB II
IDENTITAS NASIONAL
A.
Pengertian Identitas Nasional
Istilah “ Identitas Nasional “ secara terminologis adalah suatu
ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa secara filosofis membedakan bangsa
tersebut dengan bangsa lain. Berdasarkan pengertian ini maka setiap detik
bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan
keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut terbentuk secara
histories. Maka pada hakikatnya “ Identitas Nasional” suatu bangsa tidak dapat
dipisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau lebih popular disebut sebagai
kepribadian suatu bangsa.
Istilah kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau
totalitasi dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang
mendasari tingkahlaku individu. Oleh karena itu, menurut Ismaun (1981: 6 )
Kepribadian adalah tercermin pada keseluruhan tingkah laku seseorang dalam
hubungan dengan manusia lain.
Berdasarkan uraian diatas , maka pengertian kepribadian sebagai
suatu identitas nasional suatu bangsa, adalah keseluruhan atau totalitas dari
kepribadian individu-individu sebagai unsur yang membentuk bangsa tersebut.oleh
karena itu pengertian identitas nasional suatu bangsa tidak dapt dipisahkan
dengan pengertian “peoples character “, “ National character”, atau
“ National Identity “. Oleh karena itu, identitas nasional suatu
bangsa termasuk identitas nasional Indonesiajuga harus dipahami dalam konteks
dinamis.
Bagi bangsa Indonesia dimensi dinamis identitas nasional bangsa
Indonesia belum menunjukkan perkembangan kearah sifat kreatif serta dinamis.
Setelah bangsa Indonesia mengalami kemerdekaan 17 Agustus 1945, berbagai
perkembangan ke arah kehidupan kebangsaan dan kenegaraan mengalami kemerosotan
dari segi identitas nasional.
Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 bangsa Indonesia kembali ke UUD
1945. Pada saat itu dikenal periode orde lama dengan penekanan kepada
kepemimpinan yang sifatnya sentralistik. Berkembangnya partai komunis pada
periode ini dipandang sebagai keagalan pemerintah untuk mempertahankan Pancasila
ideologi dan dasar negara kesatuan Republik Indonesia yang berakibat jatuhnya
kekuasaan orde lama.
Kekeliruan orde baru pada akhirnya mengakibatkan terjadinya krisis
diberbagai bidang kehidupan. Sudah banyak memang yang dilakukan pemerintah
negara Indonesia dalam melakukan reformasi, baik dibidang politik, hukum,
ekonomi, militer, pendidikan serta bidang-bidang lainnya. Namun demikian,
sebagai bangsa yang kuat dari seluruh elemen masyarakat.
B.
Faktor-faktor
pendukung kelahiran identitas nasional
Identitas nasional suatu bangsa memiliki sifat, ciri khas serta
keunikan sendiri-sendiri, yang sangat ditentukan oleh berbagai faktor.
Sedikitnya ada 2 faktor yang mendukung kelahiran identitas suatu bangsa, yaitu
faktor objektif dan subjektif. Bagi bangsa Indonesia faktor objektif mendukung
kelahiran identitas nasional meliputi faktor geografis-ekologis dan demokratis.
Sedangkan faktor subjektif adalah faktor historis, sosial, politik, dan
kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells dalam
bukunya, The power of Identity ( Suryo, 2002) mengemukakan teori tentang
munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis
antara empat faktor pnting, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor
penarik dan faktor reaktif. Kesatuan tersebut tidak menghilangkan keberanekaan,
dan hal inilah yang dikenal dengan bhineka tunggal ika. Faktor kedua, meliputi
pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan
pembangunan lainnya dalam kehidupan negara.
Faktor ketiga, mencakup kodifikasi bahasa dalam gramatika yang
resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Fakta
keempat, meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif
melalui memori kolektif rakyat.
Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses
pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia, yang telah berkembang dari
masa sebelum bangsa Indonesia pada dasarnya melekat erat dengn perjuangan
bangsa Indonesia.
Oleh karena itu pembentukan identitas nasional Indonesia melekat
erat unsur-unsur sosial, agama, ekonomi, budaya, geografis yang berkaitan dan
terbentuk melalui suattu proses yang cukup panjang ( Kaelan dan Zubaidi, 2007 :
50-51 )
Unsur-unsur
Pembentuk Identitas Nasional
a)
Sejarah
Sebelum menjadi Negara yang modern Indonesia pernah mengalami masa
kejayaan yang gemilang pada masa kerajaan Majapahit dan sriwijaya. Pada dua
kerajaan tersebut telah membekas pada semangat perjuangan bangsa Indonesia pada
abat-abat berikutnya.
b)
Kebudayaan
Aspek kebuayaan yang menjadi unsur pembentuk indentitas nasional
meliputi: akal budi, peradaban, dan pengetahuan. Misalnya sikap ramah dan
santun bangsa Indonesia.
c)
Suku Bangsa
Kemajemukan merupakan indentitas lain bangsa Indonesia. tradisi
bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam kemajemukan yang bersfat
alamiah tersebut, tradisi bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam
kemajemukan merupakan hal lain yang harus dikembangkan dan di budayakan.
d)
Agama
Keanekaragaman agama merupakan indentitas lain dari kemajemukan
dengan kata lain, agama dan keyakinan Indonesia tidak hanya dijamin oleh
konstitusi Negara, tetapi juga merupakan suatu Rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang
harus tetap dipelihara dan disyukuri bangsa Indonesia. Menyukuri nikmat
kemajemukan pemberian Allah dapat dilakukan dengan, salah satunya, sikap dan
tindakan untuk tidak memaksakan keyakinan dan tradisi suatu agama, baik
mayoritas maupun minoritas, atau kelompok lainnya.
e)
Bahasa
Bahasa adalah salah satu atribut indentitas nasional Indonesia.
Sekalipun Indonesia memiliki ribuan bahasa daerah, kedudukan bahasa Indonesia
(bahasa yang digunakan bangsa melayu) sebagai bahasa penghubung (lingua franca)
peristiwa sumpah pemuda tahun 1982, yang menyatakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan bangsa Indonesia.
f)
Kasta dan Kelas
Kasta adalah pembagian social atas dasar agama. Dalam agama hindu
para penganutnya dikelompokkan kedalam beberapa kasta.kasta yang tertinggi
adalah kasta Brahmana (kelompok rohaniaan) dan kasta yang terendah adalah kasta
Sudra (orang biasa atau masyarakat biasa). Kasta yang rendah tidak bisa
kawin dengan kasta yang lebih tingi dan begitu juga sebaliknya. Kelas
menurut Weber ialah suatu kelompok orang-orang dalam situasi kelas yang sama,
yaitu kesempatan untuk memperoleh barang-barang dan untuk dapat menentukan
sendiri keadaan kehidupan ekstern dan nasib pribadi. Kekuasaan dan milik
merupakan komponen-komponen terpenting: berkat kekuasaan, mka milik
mengakibatkan monopolisasi dan kesempatan-kesempatan.
C.
Karakteristik identitas nasional
Pada hakikatnya Identitas Nasional, meupakan manifestasi
nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan
suatu nation ( bangsa ) dengan ciri-ciri khas tertentu yang membuat bangsa
bersangkutan berbeda dengan bangsa lain. Dengan perkataan lain dapat dikatakan
bahwa Identitas Nasional Indonesia adalah Pancasila yang aktualisasinya
tercermin dalam berbagai penataan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas.
Perlu dikemukakan bahwa nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai
identitas nasional tadi bukanlah barang jadi yang sudah selesai “mandheg” dalam
kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang “ terbuka”-cenderung
terus-menerus bersemi sejalan dengan hasrat menuju kemajuan yang dicita-citakan
bangsa Indonesia.
Perkembangan Iptek dan arus globalisasi yang membuat masyarakat
Indonesia harus berhadapan dengan kebudayaan berbagai bangsa di dunia, sudah
sepantasnya menyadarkan kita semua, bahwa pelestarian berbagai bangsa di dunia,
sudah sepantasnya menyadarkan kita semua, bahwa pelestarian budaya sebagai
upaya untuk mengembangkan identitas kita semua. Dalam upaya pengembangan
identitas nasional, pelestarian budaya tidak berarti menutup diri terhadap segala
bentuk pengaruh kebudayaan bangsa Indonesia.
Sebagai komitmen konstitusional yang dirumuskan oleh para pendiri
negara kita dalam pembukaan, khususnya dalam pasal 32 UUD 1945 beserta
penjelasannya, yaitu : “ kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai
buah usaha budaya rakyat Indonesia.
Kesadaran pentingnya mengembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa
dengan keterbukaan menerima kebudayaan asing yang bernilai positif semakin
tegas diamanatkan dalam pasal 32 UUD 1945 yang diamandemen :
1. Negara
memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya
2.
Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional
1. Pengertian
Nasionalisme
Nasionalisme adalah suatu situasi kejiwaan dimana kesetiaan
seseorang secara total diabdikan kepada negara dan bangsa atas nama sebuah
bangsa. Munculnya nasionalisme terbukti sangat efektif sebagai alat perjuangan
bersama merebut kemerdekaan dari cengkraman kolonial. Nasionalisme dapat
diwujudkan dalam sebuah identitas politik/kepentingan bersama dalam bentuk
sebuah wadah yang disebut bangsa (nation) dengan demikian bangsa (nation)
merupakan suatu badan (wadah) yang didalamnya terhimpun orang-orang yang
memiliki persamaan keyakinan dan persamaan lain yang mereka miliki seperti :
ras, etnis, agama, bahasa dan budaya. Dari unsur persamaan tersebut semuanya
dapat dijadikan sebagai identitas politik bersama untuk menentukan tujuan
bersama. Tujuan ini direalisasikan dalam bentuk sebuah entitas organisasi
politik yang dibangun berdasarkan geopolitik yang terdiri atas : populasi,
geografis, dan pemerintahan yang permanen yang disebut negara (state). Menurut
Dean A. Mix dan Sandra M. Hawley, nation-state merupakan sebuah bangsa yang
memiliki bangunan politik seperti ketentuan-ketentuan perbatasan teritorial
pemerintah sah, pengakuan bangsa lain dan sebagainya. Menurut Koerniatmante
Soetoprawiro secara hukum peraturan tentang kewarganegaraan merupakan suatu konsekuensi
langsung dari perkembangan nasionalisme.
2. Latar
belakang lahirnya nasionalisme Indonesia
Tumbuhnya paham nasionalisme bangsa Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari situasi politik pada abad ke 20. Pada masa itu semangat
menentang kolonialisme Belanda mulai muncul di kalangan pribumi. Ada 3
pemikiran besar tentang watak nasionalisme Indonesia yang terjadi pada masa
sebelum kemerdekaan yakni paham ke Islaman, marxisme dan nasionalisme Indonsia.
Para analis nasionalis beranggapan bahwa Islam memegang peranan
penting dalam pembentukan nasionalisme sebagaimana di Indonesia. Menurut
seorang pengamat nasionalisme George Mc. Turman Kahin, bahwa Islam bukan saja
merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan melainkan juga merupakan
simbol persamaan nasib menetang penjajahan asing dan penindasan yang berasal
dari agama lain. Ikatan universal Islam pada masa perjuangan pertama kali di
Indonesia dalam aksi kolektif di pelopori oleh gerakan politik yang dilakukan
oleh Syarikat Islam yang berdiri pada awalnya bernama Syarikat Dagang Islam
dibawah kepemimpinan H.O.S.Tjokoroaminoto, H.Agus Salim dan Abdoel Moeis telah
menjadi organisasi politik pemula yang menjalankan program politik nasional
dengan mendapat dukungan dari semua lapisan masyarakat.
3. Faktor-Faktor
Nasionalisme Indonesia
a. Faktor
dari dalam (internal)
1) Kenangan
kejayaan masa lampau
Bangsa-bangsa Asia dan Afrika sudah pernah mengalami masa kejayaan
sebelum masuk dan berkembangnya imperialisme dan kolonialisme barat.
Bangsa India, Indonesia, Mesir, dan Persiapernah
mengalami masa kejayaan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Kejayaan
masa lampau mendorong semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan. Bagi
Indonesia kenangan kejayaan masa lampau tampak dengan adanya kenangan akan
kejayaan pada masa kerajaan Majapahit dan Sriwijaya.
Dimana pada masa Majapahit, mereka mampu menguasai daerah seluruhNusantara,
sedangkan masa Sriwijaya mampu berkuasa di lautan karena maritimnya yang kuat.
2) Perasaan
senasib dan sepenanggungan akibat penderitaan dan kesengsaraan masa penjajahan
Penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa
Asia, Afrika mengakibatkan mereka hidup miskin dan menderita sehingga mereka
ingin menentang imperialisme barat.
3) Munculnya
golongan cendekiawan
Perkembangan pendidikan menyebabkan munculnya golongancendekiawan baik
hasil dari pendidikan barat maupun pendidikan Indonesia sendiri. Mereka menjadi
penggerak dan pemimpin munculnya organisasi pergerakan nasional Indonesia yang
selanjutnya berjuang untuk melawan penjajahan.
4) Paham
nasionalis yang berkembang dalam bidang politik, sosial ekonomi, dan kebudayaan
5) Dalam
bidang politik, tampak dengan upaya gerakan nasionalis menyuarakan aspirasi
masyarakat pribumi yang telah hidup dalam penindasan dan penyelewengan hak
asasi manusia. Mereka ingin menghancurkan kekuasaan asing/kolonial dari
Indonesia.
6) Dalam
bidang ekonomi, tampak dengan adanya usaha penghapusan eksploitasi ekonomi
asing. Tujuannya untuk membentuk masyarakat yang bebas dari kesengsaraan dan
kemelaratan untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia.
7) Dalam
bidang budaya, tampak dengan upaya untuk melindungi, memperbaiki dan
mengembalikan budaya bangsa Indonesia yang hampir punah karena masuknya budaya
asing di Indonesia. Para nasionalis berusaha untuk memperhatikan dan menjaga
serta menumbuhkan kebudayaan asli bangsa Indonesia.
b. Faktor
dari luar (eksternal)
o Kemenangan
Jepang atas Rusia (1905)
o Perkembangan
Nasionalisme di Berbagai Negara
a.
Pergerakan Kebangsaan India
b.
Gerakan Kebangsaan Filipina
c.
Gerakan Nasionalis Rakyat Cina
d.
Pergerakan Turki Muda (1908)
e.
Pergerakan Nasionalisme Mesir
o Munculnya
Paham-paham baru
Munculnya paham-paham baru di luar negeri seperti nasionalisme,liberalisme, sosialisme, demokrasi dan pan islamisme juga
menjadi dasar berkembangnya paham-paham yang serupa di Indonesia. Perkembangan
paham-paham itu terlihat pada penggunaan ideologi-ideologi (paham) pada
organisasi pergerakan nasional yang ada di Indonesia.
4. Perkembangan
Nasionalisme di Indonesia
Sebagai upaya menumbuhkan rasa nasionalisme di Indonesia diawali
dengan pembentukan identitas nasional yaitu dengan adanya penggunaan istilah
“Indonesia” untuk menyebut negara kita ini. Dimana selanjutnya istilah
Indonesia dipandang sebagai identitas nasional, lambang perjuangan bangsa
Indonesia dalam menentang penjajahan. Kata yang mampu mempersatukan bangsa
dalam melakukan perjuangan dan pergerakan melawan penjajahan, sehingga segala
bentuk perjuangan dilakukan demi kepentingan Indonesia bukan atas nama daerah
lagi. Istilah Indonesia mulai digunakan sejak :
·
J.R.
Logan menggunakan istilah Indonesia untuk menyebut penduduk dan kepulauan
nusantara dalam tulisannya pada tahun 1850.
·
Earl
G. Windsor dalam tulisannya di media milik J.R. Logan tahun 1850 menyebut
penduduk nusantara dengan Indonesia.
·
Serta
tokoh-tokoh yang mempopulerkan istilah Indonesia di dunia internasional.
·
Istilah
Indonesia dijadikan pula nama organisasi mahasiswa di negara Belanda yang
awalnya bernamaIndische Vereninging menjadi Perhimpunan Indonesia.
·
Nama
majalah Hindia Putra menjadi Indonesia Merdeka
·
Istilah
Indonesia semakin populer sejak Sumpah Pemuda28 Oktober 1928. Melalui
Sumpah Pemuda kata Indonesia dijadikan sebagai identitas kebangsaan yang diakui
oleh setiap suku bangsa, organisasi-organisasi pergerakan yang ada di Indonesia
maupun yang di luar wilayah Indonesia.
5. Karakteristik
nasionalisme Indonesia
Paham Nasionalisme terbukti sangat efektif sebagai alat perjuangan
bersama merebut kemedekaan dari cengkraman kolonial . Semangat Nasionnalisme
dipakai sebagai metode perlawanan, sebagaimana yang disampaikan oleh Larry
Diamond dan Marc F Platner bahwa para penganut nasionalisme dunia ketiga secara
khas menggunakan pretorika anti kolonialisme dan anti imperialisme . Dengan
demikian , bangsa merupakan suatu wadah yang didalamnya terhimpun orang-orang
yang mempunyai persamaan keyakinan yang mereka miliki . unsur persamaan itu
dijadikan identitas politik berdasarkan geopolitik dan pemerintahan permanen
(negara).
Negara merupakan bangsa yang memiliki bangunan politik . Menurut
penganutnya paham nasionalisme yang disampaikan oleh Soekarno bukanlah
nasionalisme yang berwatak sempit (chauvinisme) melainkan bersifat toleran dan
tidak memaksa.
BAB III
NEGARA DAN WARGANEGARA
A.
Pengertian Negara
Secara
historis pengertian negara berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat pada
saat itu. Pada zaman yunani kuno para ahli filsafat negara merumuskan
pengertian negara secara beragam. Aristoteles (384-522 SM) merumuskan negara
dalam bulu politica yang disebut negara polis, yang saat itu masih dipahami
dalam suatu wilayah terkecil.
Dalam
pengertian negara disebut negara hukum yan didalamnya terdapat suatu warga
negara yang ikut dalam permusyawaratan (ecclesia), oleh karena itu Aristoteles
mengartikan keadilan merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya negara yang
baik demi terwujudnya cita-cita seluruh warga negaranya.
Pengertian
yang lain mengenai negara dikembangkan oleh Agustinus, yang merupakan tokoh
katolik. Ia membaginya dalam dua pengertian, yaitu Civitas dei yang artinya
negara Tuhan, dan civitas terrena atau civitas dei yang artinya negara duniawi,
Civitas terrena ini ditolak oleh Agustinus, sedangkan yang dianggap baik adalah
negara Tuhan atau civitas Dei, negara tuhan bukanlah dari negara dunia lain,
melainkan juwa yang dimiliki oleh sebagian-sebagian atau beberapa orang di
dunia ini untuk mencapainya. Adapun yang melaksanakan negara adalah gereja yang
mewakili Tuhan, meskipun demikian bukan berarti apa yang diluar gereja itu
terasing sama sekali dari civitas dei (Kusnardi), beberapa dengan konsep negara
menurut kedua tokoh pemikir negara tersebut, Nocolli Machlavell (1469-1527)
yang merumuskan negara sebagai negara kekuasaan dalam bukunya “II Principle”
yang dahulu merupakan buku referensi dalam raja. Machlavelly memandang negara
dari sudut kenyataan bahwa dalam suatu negara harus ada suatu kekuasaan yang
harus dimiliki oleh suatu orang pemimpin negara atau raja, raja sebagai
pemegang kekuasaan suatu negara tidak mungkin hanya mengandalkan suatu
kekuasaan hanya pada satu moralitas atau kesusilaan, kekacauan yang timbul
dalam suatu negara karena lemahnya suatu kekuasaan negara. Bahkan yang lebih
terkenal lagi ajaran Machlavelly tentang tujuan yang dapat menghalalkan segala
cara akibat ajaran inilah munculah berbagai praktek pelaksanaan kekuasaan
negara yang otoriter, yang jauh dari nilai-nilai moral, teori machlavelly
mendapat tantangan dan reaksi yang kuat dari filsuf lain seperti Thomas Habes
(1958-1679). John Locke (1652-1704), dan Rouseau(1712-1788). Mereka mengartikan
negara sebagai suatu badan atau organisasi hasil dari perjanjian masyarakat
secara bersama, menurut mereka manusia yang dilahirkan telah membawa hak asasi
seperti hak untuk hidup, untuk memilih, serta hak kemerdekaan dalam keadaan
naturalis terbentuknya negara hak-hak itu akan dapat dilanggar yang konsekuensi
terjadi pembentukan kepentingan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat
tersebut, menurut hobbes dalam keadaan naturalis sebuah
terbentuknya suatu negara akan terjadi homoni lupus yaitu manusia
menjadi serigala bagi manusia lain yang menimbulkan perang
sementara yang disebut belum ominum Contrk Omnes dan hukum yang
berlaku adalah hukum rimba.
Bentuk
ini pengertian negara yang dikemukakan oleh beberapa tokoh antara lain :
a. Roger
H,
Mengemukakan bahwa negara adalah sebagai alat argency atau wewenang
louthority yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atau
nama masyarakat (Soltau, 1961)
b. Harold
J,
Lasky menerangkan bahwa negara merupakan suatu masyarakat yang
diantar generasikan karena memiliki wewenang yang bersifat memaksa dan yang
secara syah lebih agung dari pada individu atau kelompok. Masyarakat merupakan
suatu negara manakala cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu atau
kelompok – kelompok ditentukan oleh wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat
(Lasky, 1947)
c. Max
Weber,
Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam
penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (Weber, 1958).
Tujuan
Negara
a. Menyelenggarakan
ketertiban hukum
b. Memperluas
kekuasaan
c. Mencari
kesejahteraan hukum
Beberapa
pendapat para ahli mengenai tujuan sebuah negara
a. Plato
Tujuan
negara adalah memajukan kesusilaan manusia sebagai perseorangan (Individu) atau
sebagai makhluk sosial.
b. Ibnu
Arabi
Tujuan
negara adalah agar manusia dapat menjalankan kehidupan baik jauh dari sengketa
atau perselisihan
c. Ibnu
Khaldun
Tujuan
negara adalah untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara
pada kepentingan akhirat.
B.
Bentuk-bentuk negara
Negara
terbagi kedalam dua bentuk yaitu negara kesatuan(Uniterianisme) dan negara
serikat(Federasi).
a. Negara
kesatuan
Bentuk suatu negara yang merdeka yang berdaulat dengan satu
pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam
pelaksanaannya negara kesatuan ini terbagi ke dalam dua macam yaitu :
Sentral dan Otonomi, sistem yang langsung dipimpin oleh
pemerintahan pusat model pemerintahan orde baru di bawah pimpinan presiden
Soeharto. Didesentralisan adalah kepada daerah diberikan kesempatan dan
kewenangan untuk mengurus urusan di wilayahnya sendiri, sistem itu dikenal sebagai
Otonomi daerah ata swantara.
b. Negara
serikat
Negara serikat atau pederasi merupakan bentuk negara gabungan yang
terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat. Pelaksanaan dan
mekanisme pemilihannya, bentuk negara dapat di golongkan ke-3 kelompok yaitu
monarki, Oligarti dan Demokrasi.
a. Monarki,
model pemerintahan yang dipakai oleh Raja atau Ratu.
b. Oligarti,
pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan
atau kelompok tertentu.
c. Demokrasi,
bentuk pemerintahan yang bersandar kepada kedaulatan rakyat atau mendasarkan
kekuasaaannya pada pilihan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum
(Pemilu).
Pengertian
Kewarganegaraan
Warga
negara dapat diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk
yang menjadi unsur negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan
kedudukannya sebagai orang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau
kawula negara, karena warga negara mengandung arti peserta dari suatu
persekutuan yang didirikan dari kekuatan bersama. Untuk itu setuiap warga
negara mempunyai persamaan hak didepan hukum, kepastian hak, pripasi dan
tanggungjawab.
Dalam
konteks indonesia istilah warga negara (Sesuai dengan pasal 26) dimaksudkan
untuk bangsa indonesia asli dan bangsa lain yang di syahkan UU sebagai warga
negara. Selain itu menurut pasal UU 1 No.22/1958 dinyatakan bahwa warga negara
Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan
perjanjian-perjanjian yang berlaku sejak proklamasi 17/08/1945.
C.
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Dalam
pengertian warga negara secara umum dinyatakan bahwa warga negara merupakan
anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai
hak dan kewajibannya yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.
Dalam
konteks Indonesia hak warga Indonesia terhadap negaranya telah diatur dalam UUD
1945 dan berbagai peraturan lainnya yang merupakan derivasi dari UUD 1945.
D.
Contoh Hak Dan Kewajiban WNI
Setiap
warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama satu sama lain tanpa
terkecuali, persamaan antara sesama manusia selalu dijunjung tinggi untuk
menghindari berbagai kecemburuan sosial yang dapat memicu berbagai permasalahan
dikemudian hari.
a. Contoh
Hak Warga Negara Indonesia
Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum, dan
setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghu=idupan yang layak.
b. Contoh
Kewajiban WNI
Setiap warga negara Indonesia memiliki kewajiban untuk berperan
serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara Indonesia dari serangan
musuh dan setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pemda).
E.
Hubungan Negara dan Warga Negara
Hubungan
negara dan warga negara ibarat ikan dan airnya, keduanya memiliki hubungan
timbal balik yang sangat erat. Negara Indonesia sesuai dengan institusi, misal,
berkewajiban untuk menjamin dan melindungi seluruh warganya, tanpa kecuali.
Secara jelas dalam UUD Pasal 33. Misal, disebtkan bahwa fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (ayat 1) negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, (ayat 2) negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak.
BAB IV
KONSTITUSI
A.
Definisi konstitusi
1.
Pengertian konstitusi dan Undang-Undang Dasar.
Aturan tata tertib hidup bernergara yang
menjadi dasar segala tindakan dalam kehidupan negara sering disebut sebagai
hukum dasar atau konstitusi, sering
disebut sebagai Undang-Undang Dasar, meskipun arti konstitusi itu sendiri
adalah hukum dasar yang tertulis dan tidak tertulis. Undang-Undang Dasar
tergolong hukum dasar yang tertulis, sedangkan hukum dasar yang tidak tertulis
adalah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis. Hukum dasar yang tidak
tertulis ini sering disebut konvensi. Dikatakan konvensi karena mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut:
·
Merupakan
kebiasaan yang berulang-ulang dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan
negara.
·
Tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan berjalan sejajar.
·
Diterima
oleh seluruh rakyat.
·
Bersifat
pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai aturan dasar yang tidak terdapat dalam
Undang-Undang Dasar.
Secara etimologi kata Konstitusi berasal dari bahasa
Perancis, constituir sama dengan Membentuk = pembentukan suatu
Negara/menyusun dan menyatakan sebuah Negara. Konstitusi juga bisa berarti
peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan Negara. Bahasa belanda konstitusi
= Groungwet = undang – undang dasar (ground = Dasar, wet =
undang-undang. Di Jerman kata konstitusi dikenal dengan
istilah Grundgeset,yang berarti Undang-undang dasar (grund =
dasar, gesetz = undang-undang.
Secara terminologi konstitusi adalah sejumlah aturan-aturan
dasar dan ketentuan-ketentuan hukum yang dibentuk unsur mengatur fungsi dan
struktur lembaga pemerintahan termasuk dasar hubungan kerja sama antara Negara
dan Masyarakat (rakyat) dalam kontek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun apabila konstitusi dipandang sebagai fundamental
laws atau lembaran hukum dasar bagi segala kehidupan masyarakat di suatu
negara, maka jelaslah konstitusi menjadi bagian kajian ilmu hukum. Kemudian
apabila konstitusi dipandang sebagai peratutran dasar paling awal bagi
pembentukan atau pendirian sebuah Negara, maka konstitusi merupakan bagian dari
kajian ilmu Negara. Sementara apabila konstitusi dipandang sebagai lembaran
konsesus politik segenap masyarakat sebuah Negara-bangsa, maka jelaslah
konstitusi merupakan bagian dari kajian ilmu politik.
B.
Sejarah konstitusi
Sebagai Negara yang
berdasarkan hukum, tentu saja Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan
undang-undang dasar 1945. Eksistensi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang sangaat panjang hingga akhirnya
diterima sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia.
Dalam sejarahnya, Undang-Undang Dasar
1945 dirancing sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh badan penyelidik
usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa jepang
dikenal dengan dokuritsu zyunbi tyoosakai yang beranggotakan 21 orang, diketuai
Ir. Soekarno dan Drs. Moh, Hatta sebagai wakil ketua dengan 19 orang anggota
yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa, 3 orang dari Sumatra dan
masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda kecil. Badan tersebut
(BPUPKI) ditetapkan berdasarkan maklumat gunseikan nomor 23 bersamaan dengan
ulang tahun Tenno Heika pada 29 April 1945 (Malian, 2001:59)
Badan ini
kemudian menetapkan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia
merdeka yang kemudian dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45).
Para tokoh perumus itu adalah antara lain Dr. Radjiman Widiodiningrat, Ki Bagus
Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran Soerjohamidjojo,
Soetarjo Kartohamidjojo, Prop. Dr. Mr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap Tjwan
Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatra), Mr. Abdul Abbas (Sumatra), Dr. Ratulangi,
Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi), Mr. Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), AH.
Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso, Abdul Wachid hasyim dan Mr. Mohammad Hasan
(Sumatra).
Latar belakang
terbentuknya konstitusi (UUD’45) bermula dari janji Jepang untuk memberikan
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dikemudian hari. Janji tersebut antara lain
berisi “sejak dari dahulu, sebelum pecahnya peperangan asia timur raya, Dai
Nippon sudah mulai berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan
pemerintah hindia belanda. Tentara Dai Nippon serentak menggerakkan angkatan
perangnya, baik di darat, laut, maupun udara, untuk mengakhiri kekuasaan
penjajahan Belanda”.
Sejak saat itu Dai
Nippon Teikoku memandang bangsa Indonesia sebagai saudara muda serta membimbing
bangsa Indonesia dengan giat dan tulus ikhlas di semua bidang, sehingga
diharapkan kelak bangsa Indonesia siap untuk berdiri sendiri sebagai bangsa
Asia Timur Raya. Namun janji hanyalah janji, penjajah tetaplah penjajah yang
selalu ingin lebih lama menindas dan menguras kekayaan bangsa Indonesia.
Setelah Jepang dipukul mundur oleh sekutu, Jepang tak lagi ingat akan janjinya.
Setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, rakyat Indonesia lebih bebas dan
leluasa untuk berbuat dan tidak bergantung pada Jepang sampai saat kemerdekaan
tiba.
Setelah kemerdekaan
diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi nampaknya tidak bisa
ditawar-tawar lagi, dan segera harus dirumuskan. Sehingga lengkaplah Indonesia
menjadi sebuah Negara yang berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari
setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
mengadakan sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan
sebagai berikut:
1)
Menetapkan
dan mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari rancangan
undang-undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945.
2)
Menetapkan
dan mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang
disusun oleh panitia perancang UUD tanggal 16 Juni 1945.
3)
Memilih
ketua persiapan kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil
ketua Drs. Muhammad Hatta sebagai wakil presiden.
4)
Pekerjaan
presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia yang kemudian menjadi komite Nasional.
Dengan terpilihnya presiden dan wakilnya atas dasar Undang-Undang
Dasar 1945 itu, maka secara formal Indonesia sempurna sebagai sebuah Negara,
sebab syarat yang lazim diperlukan oleh setiap Negara telah ada yaitu adanya:
·
Rakyat,
yaitu bangsa Indonesia.
·
Wilayah,
yaitu tanah air Indonesia yang terbentang dari sabang hingga ke merauke yang
terdiri dari 13.500 buah pulau besar dan kecil.
·
Kedaulatan
yaitu sejak mengucap proklamasi kemerdekaan Indonesia.
·
Pemerintah
yaitu sejak terpilihnya presiden dan wakilnya sebagai pucuk pimpinan
pemerintahan Negara
Tujuan Negara yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan pancasila. Bentuk Negara yaitu Negara kesatuan.
C.
Perkembangan dan perubahan konstitusi di Indonesia
Konstitusi sebagai hukum dasar yang
dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara dapat berupa konstitusi
tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Dalam hal konstitusi terstulis, hampir
semua negara di dunia memilikinya yang lajim disebut undang-undang dasar (UUD)
yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara
bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia.
Negara yang dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi
tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap
semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak azasi manusia terdapat pada adat
kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru
maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari tahun 1215
yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris.Karena ketentuan
mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam
adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori negara yang
memiliki konstitusi tidak tertulis.
Adanya negara yang dikenal sebagai negara
konstitusional tetapi tidak memiliki konstitusi tertulis, nilai-nilai, dan
norma-norma yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negara juga diakui
sebagai hukum dasar, dan tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti
yang luas. Karena itu, Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis beserta
nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi
ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke
dalam pengertian konstitusi atau hukum dasar (droit constitusionnel) suatu
Negara.
Dalam perkembangan sejarah kehidupan
berbangsa dan bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat penting.
Pengertian dan materi muatan konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan
perkembangan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Kajian tentang
konstitusi semakin penting dalam negara-negara modern saat ini yang pada
umumnya menyatakan diri sebagai negara konstitusional, baik demokrasi
konstitusional maupun monarki konstitusional. Dengan meneliti dan mengkaji
konstitusi, dapat diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan
penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan
nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.
Suatu konstitusi tertulis, sebagaimana halnya
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), nilai-nilai dan norma dasar yang hidup
dalam masyarakat serta praktek penyelenggaraan negara turut mempengaruhi
perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu, suasana
kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang filosofis,
sosiologis, politis, dan historis perumusan juridis suatu ketentuan
Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan
sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar tidak dapat dipahami hanya
melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami
konteks filosois, sosio-historis sosio-politis, sosio-juridis, dan bahkan
sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya. Di samping itu, setiap kurun
waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk
dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman
(ield of experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses
pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang
dalam praktek di kemudian hari. Karena itu, penafsiran terhadap Undang-Undang
Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang, memerlukan
rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya,
sehingga Undang-Undang Dasar tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan
secara sepihak oleh pihak manapun juga. Untuk itulah, menyertai penyusunan dan
perumusan naskah Undang-Undang Dasar, diperlukan pula adanya Pokok-Pokok
pemikiran konseptual yang mendasari setiap perumusan pasal-pasal Undang-Undang
Dasar serta keterkaitannya secara langsung atau tidak langsung terhadap
semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar.
Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu
tuntutan yang paling mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada
runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian Orde Baru hanya pada manusia
sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan.
Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah
suatu hal yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah
dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 .
Gagasan perubahan UUD 1945 menemukan momentumnya di era
reformasi. Pada awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi
Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan
Perundang-Undangan. Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen
UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam
UUD 1945. Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya
perubahan UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang
Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah
perubahan UUD 1945 yaitu:
a)
Sepakat
untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
b)
Sepakat
untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;.
c)
Sepakat
untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus
menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
d)
Sepakat
untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam
pasal-pasal UUD 1945; dan
e)
Sepakat
untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan
secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR dari
tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002
bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas
melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan
Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama pada tahun 1999,
Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan
Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD
1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan
materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang
telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi
konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai
Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan dalam
Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampai dengan tanggal
19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama itu tepatnya dilakukan
pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang
berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian kalangan
masyarakat yang cenderung menyakralkan atau menjadikan UUD 1945 bagaikan
sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan sama sekali.
Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945, yaitu atas
Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21. Kesembilan pasal
yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya berisi 16 ayat
atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
Gelombang perubahan atas naskah UUD
1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI
sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan
materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan lebih banyak
lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang
Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA tentang
Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang Hak
Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27
pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka
isinya mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah
dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah itu, agenda perubahan
dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang berhasil
menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001.
Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini
adalah Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V
tentang Kementerian Negara, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB
tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari
segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas
cakupan materinya. Tapi di samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian
besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan cenderung
ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu, selain secara
kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi
isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan Sangay
mendasar pula.
Perubahan yang terakhir dalam rangkaian
gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai tahun 2002, adalah
perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002. Pengesahan
naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam naskah
Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua,
ketiga, dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan
diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta
dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan
Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat “Perubahan tersebut
diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”; (c)
pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat
(2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul Bab IV tentang
Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya
ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e) pengubahan dan/atau
penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat
(1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat
(2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara keseluruhan naskah Perubahan Keempat
UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah
UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan yang mengalami
perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari naskah UUD. Paradigma
pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandungdalam rumusan pasal-pasal UUD
1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu benar-benar berbeda dari pokok
pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan
pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan
Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang
Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri
atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal
10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran
tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari
naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah
empat kali berubah, jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena
pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali
berbeda dari apa yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut.
D.
Tujuan pembentutkan konstitusi
Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya
atas demokrasi konstitusionil, undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas
yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan
kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak
warga negara akan lebih terlindung. Gagasan ini
dinamakan konstitusionalisme.
Cara pembatasan yang dianggap paling efektif ialah dengan
jalan membagi kekuasaan. Kata Carl J. Friedrich: “dengan jalan membagi
kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan suatu sistim pembatasaan yang
efektif atas tindakan-tindakan pemerintah” (Constitutionalism by dividing power
providesa system of effective restraints upon governmental action).
Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam undang-undang dasar mempunyai fungsi
yang khusus dan merupakan perwujudan atau menifestasi dari hukum yang tertinggi
yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat, tetapi pemerintah serta penguasa
sekalipun.
Gagasan konstitusionalisme telah timbul lebih
dahulu dari pada konstitusi itu sendiri. Konstitusionalisme dalam arti penguasa
perlu dibatasi kekuasaannya dan kerena itu kekuasaannya harus diperinci secara
tegas, telah timbul di Abad pertengahan (Midle Ages) Eropa. Pada tahun 1215,
raja John dari Inggris dipaksa oleh beberapa bangsawan untuk mengakui beberapa
hak mereka, yang kemudian ducantumkan dalam magna Charta (Piagam
Besar). Dalam Charter of English Liberties ini raja John menjamin
bahwa pemungutan pajak tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari yang
bersangkutan, dan bahkan tidak akan diadakan penangkapan tanpa peradilan.
Meskipun belum sempurna, Magna Charta di dunia Barat dipandang sebagai
permulaan dari gagasan dari konstitusionalisme serta pengakuan terhadap
kebebasan dan kemerdekaan rakyat.
Menurut Miriam Budiarjo, setidaknya setiap
konstitusi memuat lima ketentuan (atau ciri-ciri). Adapun kelima ketentuan
tersebut adalah:
Organisasi
negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan
yudikatif; dalam negara federal, pembagian kekuasaan antar pemerintah
negara-bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah
satu badan pemerintah dan sebagainya.
Tujuan negara yang tersurat didalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat merupakan sesuatu yang ingin dicapai
oleh bangsa Indonesia. Tujuan negara tersebut merupakan tujuan nasional yang
secara rinci dapat diurai sebagai berikut: (1) membentuk suatu pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan (3) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaikan abadi dan keadilan sosial.
Ketentuan diadakannya Undang-Undang Dasar Negara itu
sendiri juga dapat dicermati dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
alinea keempat yang menyatakan:”..... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia....”. ketentuan ini menunjukan bahwa negara Indonesia adalah negara
yang berdasarkan atas hukum. Ketentuan setidaknya Undang-Undang Dasar merupakan
ketentuan keharusan bagi suatu negara untuk adanya hukum dasar yang
melandasi segala kegiatan kehidupan kenegaraan. Segala penyelenggara negara
harus didasarkan pada ketentuan hukum dasar. Demikian pula setiap pelaksanaan
kehidupan kenegaraan yang dilakukan oleh pemerintah maupun rakyat atau
warganegara haruslah berdasarkan pada segala ketentuan yang ada dalam hukum
dasar negara. Dengan hukum dasar negara penyelenggaraan kehidupan bernegara
dapat berjalan dengan tertib dan teratur.
BAB V
PANCASILA DAN IMPLEMENTASI
A.
Pengertian Pancasila
Pancasila artinya lima dasar atau lima asas yaitu nama dari dasar
negara kita, Negara Republik Indonesia. Istilah Pancasila telah dikenal sejak
zaman Majapahit pada abad XIV yang terdapat dalam buku Nagara Kertagama
karangan Mpu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Mpu Tantular, dalam buku
Sutasoma ini, selain mempunyai arti “Berbatu sendi yang lima” (dari bahasa
Sangsekerta) Pancasila juga mempunyai arti “Pelaksanaan kesusilaan yang lima”
(Pancasila Krama), yaitu sebagai berikut:
1. Tidak
boleh melakukan kekerasan
2. Tidak
boleh mencuri
3. Tidak
boleh berjiwa dengki
4. Tidak
boleh berbohong
5. Tidak
boleh mabuk minuman keras / obat-obatan terlarang
B.
Pancsila Sebaga Dasar Negara
Setiap negara harus mempunyai dasar negara. Dasar negara merupakan
fundamen atau pondasi dari bangunan negara. Kuatnya fundamen negara akan
menguatkan berdirinya negara itu. Kerapuhan fundamen suatu negara, beraikbat
lemahnya negara tersebut. Sebagai dasar negara Indonesia, Pancasila sering
disebut sebagai dasar falsafah negara (filosofische gronslag dari
negara), Staats fundamentele norm, weltanschauung dan juga diartikan
sebagai ideologi negara (staatsidee).
Dalam pengelolaan atau pengaturan kehidupan bernegara ini dilandasi
oleh filsafat atau ideologi pancasila. Fundamen negara ini harus tetap
kuat dan kokoh serta tidak mungkin diubah. Mengubah fundamen, dasar, atau
ideology berarti mengubah eksistensi dan sifat negara. Keutuhan negara dan
bangsa bertolak dari sudut kuat atau lemahnya bangsa itu berpegang kepada dasar
negaranya.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara yaitu Pancasila sebagai
dasar dari penyelenggaraan kehidupan bernegara bagi negara Republik Indonesia.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara seperti tersebut di atas, sesuai
dengan apa yang tersurat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia 4
antara lain menegaskan: “….., maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalm
permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Dengan kedudukan yang istimewa tersebut, selanjutnya dalam proses
penyelenggaraan kehidupan bernegara memiliki fungsi yang kuat pula. Pasal-pasal
Undang-Undang Dasar 1945 menggariskan ketentuan-ketentuan yang menunjukkan
fungsi pancasila dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara. Berikut ini
dikemukakan ketentuan-ketentuan yang menunujukkan fungsi dari masing-masing
sila pancasila dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, yaitu: kehidupan bernegara bagi Negara Republik Indonesia berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agama serta untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannnya, negara
menghendaki adanya toleransi dari masing-masing pemeluk agama dan aliran
kepercayaan yang ada serta diakui eksistensinya di Indonesia, negara Indonesia
memberikan hak dan kebebasan setiap warga negara terhadap agama dan kepercayaan
yang dianutnya.
Selanjutnya ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab, antara lain : pengakuan negara terhadap hak
bagi setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri, negara menghendaki agar
manusia Indonesia tidak memeperlakukan sesame manusia dengan cara
sewenang-wenang sebagai manifestasi sifat bangsa yang berbudaya tinggi,
pengakuan negara terhadap hak perlakuan sama dan sederajat bagi setiap manusia,
jaminan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta kewajiban
menjunjung tinggi hokum dan pemerintahan yang ada bafi setiap warga negara.
Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Persatuan
Indonesia, yaitu: perlindungan negara terhadp segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiba dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, negara mengatasi segala
paham golongan dan segala paham perseorangan, serta pengakuan negara terhadap
kebhineka-tunggal-ikaan dari bangsa Indonesia dan kehidupannya.
Selanjutnya ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila
Kerkyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarata
perwakilan, yaitu: penerapan kedaulatan dalam negara Indonesia yang berada di
tangan rakyat dan dilakukan oleh MPR, penerapan azas musyawarah dan mufakat
dalam pengambilan segala keputusan dalam negara Indonesia, dan baru menggunakan
pungutan suara terbanyak bila hal tersebut tidak dapat dilaksanakan, jaminan
bahwa seluruh warga negara dapat memperoleh keadlan yang sama sebagai
formulasi negara hokum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka, serta
penyelenggaraan kehidupan bernegara yang didasarkan atas konstitusi dan tidak
bersifat absolute.
Yang terakhir adalah ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi
sila Keadlan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, antara lain: negara
menghendaki agar perekonomian Indonesia berdasarkan atas azas kekeluaraan,
penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara serta menguasai
hajat hidup orang banyak oleh negara, negara menghendaki agar kekayaan alam
yang terdapat di atas dan di dalam bumi dan air Indonesia dipergunakan untuk kemakmuran
rakyat banyak, negara menghendaki agar setiap warga negara Indonesia mendapat
perlakuan yang adil di segala bidang kehidupan, baik material maupun spiritual,
negara menghendaki agar setiap warga negara Indonesia memperoleh pengajaran
secara maksimal, negara Republik Iindonesia mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pengajaran nasional yang pelaksanaannya ditur berdasarkan
Undang-Undang, pencanangan bahwa pemerataan pendidikan agar dapat dinikmati
seluruh warga negara Indonesia menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah, masyarakat dan keluarga, dan negara berusaha membentuk manusia
Indonesia seutuhnya..
Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus
Pancasila itu ialah, Mr Mohammad Yamin, Prof Mr Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat
dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari
guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara
intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang
Pancasila berarti dia menentang toleransi.
Kedua, Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat
mencakup faham-faham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain
yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup untuk memperkembangkan
diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai
dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia,
dan nilai serta norma yang bertentangan, pasti akan ditolak oleh Pancasila,
misalnya Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama akan ditolak oleh
bangsa Indonesia yang bertuhan dan ber-agama.
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9
Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah
dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar
negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan
Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR
No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia..
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian
bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa
negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh
perundang-undangan. Mengenai hal itu,Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan:
“Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan
dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan
hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab),
agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan
mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan
kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
BAB VI
ISLAM, MUSYAWARAH DAN DEMOKRASI
A. Hakikat
dan Makna Demokrasi
Demokrasi adalah salah satu bentuk pemerintahaan dalam sebuah
negara dengan kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara
langsung atau melalui perwakilan. Istilah Demokrasi sendiri diperkenalkan
pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu
pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak
yang disebut dengan istilah rakyat. Di Yunani sendiri demokrasi telah muncul
pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM. Demokrasi ini merujuk pada sistem
politik di negara kota Yunani Kuno.
Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal
dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat
dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara
bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah
keadaan Negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan
rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat
berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Sedangkan secara terminologis ada beberapa pendapat para ahli
mengenai demokrasi diantaranya:
1. Harris
Soche
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan
pemerintahan itu melekat pada diri rakyat diri orang banyak dan merupakan hak
bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi
dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk
memerintah.
2. Hennry
B. Mayo
Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukan bahwa
kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang secara
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemiliha-pemilihan yang didasarkan
atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjainnya kebebasan
politik.
3. International
Commission for Jurist
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik diselenggarankan oleh warga negara melalui
wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka
melalui suatu proses pemilihan yang bebas.
4. Yusuf
Al-Qordhawi
Demokrasi
adalah Wadah Masyarakat untuk memilih sesorang untuk mengurus dan mengatur
urusan mereka. Pimpinanya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan
yang mereka tidak kehendaki, dan mereka berhak meminta pertanggungjawaban
penguasa jika pemimpin tersebut salah. Merekapun berhak memecatnya jika
menyeleweng, mereka juga tidak boleh dibawa ke sistem ekonomi, sosial, budaya,
atau sistem politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka sukai.
Dengan demikian makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat
dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan
dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan
negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Negara yang
menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan
kehendak dan kemauan rakyat. Dari sudut organisasi, demokrasi berarti
pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas
persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.
Dari
beberapa pendapat ahli tentang demokrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
hakikat demokrasi adalah sebuah proses bernegara yang bertumpu pada peran utama
rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan. Dengan kata lain pemerintahan
demokrasi adalah pemerintahan yang meliputi tiga hal mendasar: pemerintahan
dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by
the people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people).
B. Unsur-Unsur
Penegak Demokrasi
Demokrasi bisa tegak apabila terdapat unsur-unsur penegak dari
demokrasi itu sendiri, diantara unsur-unsur pengegak demokrasi adalah:
1. Negara
Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law)
Dalam keputusan ilmu hukum, di Indonesia istilah negara hukum
sebagai terjemahan dari Rechtssaatatau The Rule of The Law. Konsepsi
Negara hukum mengandung pengertian bahwa Negara memberikan perlindungan hukum
bagi warga negara melalui kelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak
serta penjaminan hak asasi manusia. Istilah tersebut di terjemahkan menjadi
Negara hukum.
Menurut M. Machfud M.D pada hakikatnya mempunyai makna yang
berbeda. Istilah Rechtssaatbanyak dianut oleh Negara Eropa Continental
yang bertumpu pada sistem civil law, sedangkan the rule of law banyak
dikembangkan di Negara-negara Anglo Saxon yang bertumpu pada common law.
Konsepsi Rechtsstaat mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Adanya
perlindungan terhadap HAM.
2. Adanya
pemisahan dan pembagian kekuasaan pada lembaga Negara untuk menjamin
perlindungan HAM.
3. Pemerintahan
berdasarkan peraturan
4. Adanya
peradilan administrasi
Adapun the
rule of law mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Adanya
supremasi aturan-aturan hukum.
2. Adanya
kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law)
3. Adanya
jaminan perlindungan HAM
Dengan
demikian konsep Negara hukum sebagai gabungan dari kedua konsep diatas
dicirikan sebagai berikut:
1. Adanya
jaminan perlindungan terhadap HAM
2. Adanya
supremasi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan
3. Adanya
pemisahan dan pembagian kekuasaan Negara.
4. Adanya
lembaga peradilan yang bebas dan mandiri
Sementara
itu, istilah Negara hukum di Indonesia dapat ditemukan dalam penjelasan UUD
1945 yang berbunyi “Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum dan bukan
berdasar atas kekuasaan belaka”
2. Masyarakat
Madani
Masyarakat Madani atau civil society adalah masyarakat
dengan ciri-cirinya yang terbuka, egaliter, bebas dari dominasi, dan tekanan
negara. Masyarakat Madani merupakan elemen yang sangat penting dalam membangun
demokrasi. Posisi penting Masyarakat Madani dalam pembangunan demokrasi adalah
adanya paritisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan yang dilakukan
oleh negara atau pemerintah.
Perwujudan Masyarakat Madani secara konkret dilakukan oleh beberapa
oranganisasi-organisasi di luar negara (non government organizations) atau
lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dalam praktiknya, Masyarakat Madani dapat
menjalankan peran dan fungsinya sebagai mitra kerja lembaga-lembaga negara
maupun melakukan fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Dengan demikian,
Masyarkat Madani sebagaimana negara menjadi sangat penting keberadaannya dalam
mewujudkan demokrasi. Dalam peran demokraasinya, Masyarakat Madani dapat
tumpuan sebagai komponen penyeimbang kekuatan negara yang memiliki
kecenderungan koruptif.
3. Infrastruktur
Politik
Komponen berikutnya yang dapat mendukung tegaknya demokrasi adalah
infrastruktur politik. Infrastruktur politik terdiri dari:
a. Partai
politik, merupakan struktur kelembagaan politik yang anggota – anggotanya
mempunyai orientasi, nilai- nilai dan cita- cita yang sama yaitu memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakan –
kebijakanya.
b. Kelompok
gerakan yang lebih dikenal dengan sebutan organisasi masyarakat merupakan
sekumpulan orang – orang yang berhimpun dalam satu wadah organisasi yang
berorientasi pada pemberdayaan warganya seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan
sebagainya.
c. Kelompok
penekan atau kelompok kepentingan merupakan sekelompok orang dalam sebuah wadah
organisasi yang didasarkan pada kriteria profesionalitas dan keilmuan tertentu
seperti PGRI, PWI dan sebagainya.
C. Prinsip
dan Parameter Demokrasi
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi
telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi
yang kemudian dikenal dengan "soko guru
demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
1. Kedaulatan
rakyat;
2. Pemerintahan
berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
3. Kekuasaan
mayoritas;
4. Hak-hak
minoritas;
5. Jaminan
hak asasi manusia;
6. Pemilihan
yang bebas, adil dan jujur;
7. Persamaan
di depan hukum;
8. Proses
hukum yang wajar;
9. Pembatasan
pemerintah secara konstitusional;
10. Pluralisme
sosial, ekonomi, dan politik;
11. Nilai-nilai
toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Demokrasi tidak sekedar wacana yang mengandung prinsip-prinsip di
atas, ia mempunyai parameter yang digunakan sebagai ukuran apakah suatu negara
atau pemerintahan bisa dikatakan demokratis atau sebaliknya. Sedikitnya tiga
aspek dapat dijadikan landasan untuk mengukur sejauh mana demokrasi itu
berjalan dalam suatu negara.
Parameter
demokrasi antara lain:
a. Pemilihan
umum
Hingga kini pemilihan umum diyakini oleh banyak kalangan ahli
demokrasi sebagai salah satu instrument penting dalam proses pergantina
pemerintahan
b. Dasar
kekuasaan negara
Masalah ini menyangkut konsep legitimasi kekuasaan serta
pertanggung jawabanya langsung kepada rakyat.
c. Susunan
kekuasaan
Kekuasaan negara dijalankan secara distributif untuk menghindari
penumpukan kekuasaan dalam satu tangan atau satu wilayah.
d. Kontrol
rakyat
Suatu relasi kuasa yang berjalan secara sistematis, memiliki
sambungan yang jelas dan adanya mekanisme yang memungkinkan kontrol dan
keseimbangan (check and balance) terhadap kekuasaan yang dijalankan eksekutif
dan legislatif.
D. Sejarah
Demokrasi
1. Demokrasi
Barat
Berbicara demokrasi dalam pandangan barat tidak bisa dilepaskan
dari konteks historis, karena konsep demokrasi sendiri memang berasal dari
barat yang kemudian berkembang menjadi beberapa fase, yaitu:
a. Fase
Klasik
Pada fase ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran
filosofis dan praksis politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi
kebutuhan dari negara-negara kota (city states) di Yunani, khususnya Athena.
Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi (democratia,
dari demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang
dikusai para Tyrants atau autocrats untuk memberikan
jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap
warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM),
Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka
yang mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana
sebuah Polisseharusnya dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan
para autocrats dan tyrants.
Dari buah pikiran merekalah prinsip-prinsip dasar sistem
demokrasi, yaitu persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu
diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik
ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut
memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu
sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi
yang paling keras karena dianggap dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas
sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan individu
tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem politik dimana kekuasaan
mengatur Polis diserahkan kepada kelompok elite yang memiliki
kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik atau yang dikenal
dengan nama “the philosopher Kings”. Sebaliknya, Aristoteles memandang justru
sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis berkembang dan bertahan
karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam
pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan
yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan
praksis, jelas bukan sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi
substantif, karena pengertian warga (citizens) yang “egaliter” dan “bebas” pada
kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas
20 th, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi
langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil
(60000-80000 orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi
dalam Polis kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para
budak, kaum perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang asing. Demikian
pula, para warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses politik karena mereka
tidak tergantung secara ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak,
kaum perempuan, dan imigran.
b. Fase
Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M)
Yang mengemuka pada fase ini adalah gagasan alternatif terhadap
sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi
Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli
(1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu
(1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli)
dan liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah
dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem
pemisahan kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternatif dari model
absolutis.
Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah
dari Pencerahan dan Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai
pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi
besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu
Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika
melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan federalisme (James Madison)
sebagai bentuk negara, sedangkan Revolusi Perancis mengakhiri Monarki Absolut dan
meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara
universal.
c. Fase
Modern (awal abad 18-akhir abad 20)
Pada fase modern ini dapat disaksikan dengan bermunculannya
berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan teori-teori tentang
negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme, ideologi, hubungan
antara negara dan masyarakat dsb. Disamping itu, terjadi perkembangan dalam
sistem politik dan bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat Perang
Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khusunya antara kapitalisme dan
komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk
JJ Rousseau (1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville
(1805-1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber
(1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau membuat konsepsi tentang
kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang
kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan
penyelewengan.
Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil disobedience)
sebagai suatu perlawanan yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Rousseau. Mill mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty)
yang menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan
modern (Parliamentary system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak
individu dari intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan
terbatas merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan
Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan
negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan
kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan
sosialis-komunis yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi
langsung. Negara dianggap sebagai “panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat
yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih
merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (withering
away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di
bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti
teori perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap
sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat
mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana
politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum
proletar.
Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan
demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan.
Mereka berdua mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok
elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang
semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran. Dengan makin berkembangnya
birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja modern, maka
tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu
secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah
melalui perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh
karenanya pada hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.
Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era
kontemporer menjadi semakin kompleks, apalagi dengan bermunculannya
negara-negara bangsa dan pertarungan ideologis yang melahirkan blok Barat dan Timur,
kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah
pihak dan hampir semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh, kendatipun
variannya sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain.
Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik
totaliter maupun otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti
Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin mengarah kepada aspek
prosedural, khususnya tata kelola pemerintahan (governance). Pemikir seperti
Robert Dahl umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan memahami
bagaimana warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan
demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada masalah
proses-proses pemilihan umum atau kompetisi partai-partai politik, kelompok
kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yan memiliki pengaruh kekuasaan.
Dengan hancurnya blok komunis/sosialis pada penghujung abad ke
duapuluh, demokrasi seolah-olah tidak lagi memiliki pesaing dan diterima secara
global. Fukuyama bahkan menyebut era paska perang dingin sebagai Ujung Sejarah
(the End of History) di mana demokrasi (liberal), menurutnya, menjadi pemenang
terakhir. Pada kenyataannya, sistem demokrasi di dunia masih mengalami
persoalan yang cukup pelik karena komponen-komponen substantif dan prosedural
terus mengalami penyesuaian dean tantangan. Kendati ideologi besar seperti
sosialisme telah pudar, namun munculnya ideologi alternatif seperti
fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb telah tampil sebagai pemain dan
penantang baru terhadap demokrasi, khususnya demokrasi liberal.
Kondisi saat ini di mana globalisasi telah berlangsung, maka
demokrasi pun mengalami pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun
prkasis. Munculnya berbagai pemikiran dan gerakan advokasi juga menjadi
tantangan bagi sistem politik demokrasi liberal, seperti gerakan feminisme,
kaum gay, pembela lingkungan, dsb. Termasuk juga gerakan anti kapitalisme
global yang bukan hanya berideologi kiri, tetapi juga dari kubu liberal sendiri,
semakin menuntut terjadinya terobosan baru dalam pemikiran tentang demokrasi.
Contoh yang dapat disebutkan disini adalah upaya mencari jalan ke tiga (the
Third Way) yang menggabungkan liberalisme dan populisme di Eropa dan AS.
Indonesia sedang dalam proses tranformasi dari sistem otoriter
menuju demokrasi sebagaimana dicita-citakan para pendirinya dalam konstitusi.
Tak terelakkan lagi, diperlukan kemampuan dari para pekerja demokrasi untuk
mencari varian demokrasi yang compatible dengan konteks yang dihadapi.
Pemahaman tentang perkembangan pemikiran dan praksis demokrasi dari berbagai
era dan wilayah dunia akan sangat membantu dalam usaha tersebut.
2. Demokrasi
Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari Pelaksanaan Demokrasi
yang pernah ada di Indonesia. Pelaksanaan demokrasi di indonesia dapat dibagi
menjadi beberapa periodesasi antara lain :
a. Pelaksanaan
demokrasi pada masa revolusi (1945 – 1950)
Tahun 1945 – 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang
ingin kembali ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan
dengan baik. Hal itu disebabkan oleh masih adanya revolusi fisik. Pada awal
kemerdekaan masih terdapat sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4
Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbnyi sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk
menurut UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden denan dibantu oleh
KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah negara yang absolut
pemerintah mengeluarkan :
1. Maklumat
Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi lembaga
legislatif.
2. Maklumat
Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang Pembentukan Partai Politik.
3. Maklumat
Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem pemerintahn
presidensil menjadi parlementer
b. Pelaksanaan
demokrasi pada masa Orde Lama
1. Masa
Demokrasi Liberal (1950 – 1959)
Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden sebagai lambang
atau berkedudukan sebagai Kepala Negara bukan sebagai kepala eksekutif. Masa
demokrasi ini peranan parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan
berkembangnya partai-partai politik.
Namun
demikian praktek demokrasi pada masa ini dinilai gagal disebabkan :
·
Dominannya
partai politik
·
Landasan
sosial ekonomi yang masih lemah
·
Tidak
mampunyai konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950
Atas
dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959:
·
Bubarkan
konstituante
·
Kembali
ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950
·
Pembentukan
MPRS dan DPAS
c. Masa
Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966)
Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965
adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong
diantara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan
nasakom dengan ciri:
·
Dominasi
Presiden
·
Terbatasnya
peran partai politik
·
Berkembangnya
pengaruh PKI
d. Pelaksanaan
demokrasi Orde Baru (1966 – 1998)
Dinamakan juga demokrasi pancasila. Pelaksanaan demokrasi orde baru
ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Orde Baru bertekad akan
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Awal Orde baru
memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala bidang melalui Pelita I,
II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Namun
demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab:
· Rotasi
kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada
· Rekrutmen
politik yang tertutup
· Pemilu
yang jauh dari semangat demokratis
· Pengakuan
HAM yang terbatas
· Tumbuhnya
KKN yang merajalela
Sebab
jatuhnya Orde Baru:
· Hancurnya
ekonomi nasional ( krisis ekonomi )
· Terjadinya
krisis politik
· TNI
juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba
· Gelombang
demonstrasi yang menghebat menuntut Presiden Soeharto untuk turun jadi Presiden.
e. Pelaksanaan
Demokrasi Reformasi (1998 – Sekarang)
Berakhirnya
masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke
Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.
Masa
reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:
· Keluarnya
Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi
· Ketetapan
No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang Referandum
· Tap
MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN
· Tap
MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil
Presiden RI
· Amandemen
UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV
Pada
Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemilihan umum sudah dua kali yaitu
tahun 1999 dan tahun 2004.
E. Islam
dan Demokrasi
Esposito dan Piscatori (dalam Eko Taranggono, 2002)
mengidentifikasi adanya tiga varian pemikiran mengenai hubungan Islam dan
demokrasi, yaitu:
1) Islam
menjadi sifat dasar demokrasi, karena konsep syura, ijtihad,
dan ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi.
2) Islam
tidak berhubungan dengan demokrasi. Menurut pandangan ini, kedaulatan rakyat
tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara
muslim dan non muslim dan antara laki-laki dengan perempuan. Ini bertentangan
dengan equalitynya demokrasi.
3) Theodemocracy
yang diperkenalkan oleh Al-Maududi yang berpandangan bahwa Islam merupakan
dasar demokrasi. Meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan
kedaulatan Tuhan, tetapi perlu diakui bahwa kedaulatan rakyat merupakan
subordinasi kedaulatan Tuhan.
BAB VII
HAK ASASI MANUSIA
A.
Sejarah HAM
Hak asasi manusia (HAM) dirumuskan sepanjang abad ke XVII dan XVIII
ini mempengaruhi oleh gagasan hukum alam (Natural Law) seperti dirumuskan oleh
John Lock (1632 – 1778), J.J Rouseau (1712 – 1778) yang hanya membatasi
kebebasan dalam bidang politik saja. Timbulnya gagasan mengenai HAM ini pada
dasarnya merupakan akibat dari berkembangnya aliran rasionalisme. Dalam bidang
politik, pemikiran rasionalisme ingin mencari dasar – dasar yang rasional bagi
kekuasaan. Rasionalisme menolak dasar pemikiran absolutisme, bahwa kekuasaan
raja berdasarkan agama (Devine Right of Kings). Sebaliknya, rasionalisme
berpendapat hubungan antara raja dengan rakyat berdasarkan pertimbangan
rasional. Untuk ini mereka kembangkan teori kontrak sosial. Dalam teori ini
manusia dianggap mempunyai beberapa hak alami yang perlu dilindungi jika
manusia tersebut ingin hidup secara beradab dan bermasyarakat. Untuk memperoleh
perlindungan tersebut, manusia bersedia menyerahkan sebagian dari hak itu
kepada raja atau pemimpin atas dasar semacam kontrak dengan ketentuan, bahwa
manusia bersedia mentaati raja dan sebaliknya raja melindungi hak – hak rakyat.
Akibat pemikiran ini mempengaruhi kebanyakan konstitusi pada abad ke XIX dan XX
dengan mencantum hak – hak manusia dalam UUD sebagai jaminan dalam
pelaksanaannya.
Pada abad XX hak – hak politik di atas di anggap kurang sempurna
dan mulai dicetuskan hak – hak lain yang cakupannya lebih luas. Salah satu
diantaranya yang terkenal adalah 4 hak yang dirumuskan oleh presiden Amerika
Serikat F.D Roosevelt, pada awal PD II yang dikenal nama The Four
Freedoms (empat kebebesan) yaitu :
1. Kebebasan
beragama,
2. Kebebasan
dari ketakutan,
3. Kebebasan
dari kemelaratan,
4. Kebebasan
berbicara dan menyatakan pendapat.
Selain dari pemikiran itu, maka PBB memprakarsai berdirinya sebuah
komisi HAM yang diberikan namaCommission of Human Right pada tahun 1946.
Komisi inilah yang kemudian menetapkan secara rinci beberapa hak – hak ekonomi
dan sosial selain hak – hak politik yang dituangkan ke dalam Universal
Declaration of Human Right (pernyataan dunia tentang HAM) yang di
deklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948. Hak – hak tersebut yaitu :
1. Hak
atas harta benda,
2. Larangan
perbudakan,
3. Larangan
penganiayaan,
4. Hak
atas kebebasan bergerak,
5. Hak
hidup bebas dan keamanan pribadi,
6. Hak
atas turut serta dalam pemerintahan,
7. Hak
atas pemeriksaan pengadilan yang jujur,
8. Hak
atas kebebasan berkumpul dan berserikat,
9. Hak
atas pengemukakan pendapat dan mencurahkan pikiran,
10.Hak
atas kebebasan berpikir menyuarakan hati nurani dan beragama,
11.Larangan
penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang –wenang.
Hal
– hak sosial dan ekonomi yang penting dalam deklarasi tersebut yaitu :
1. Hak
atas pekerjaan,
2. Hak
atas pendidikan,
3. Hak
atas taraf hidup yang layak termasuk makanan, pakaian, perumahan dan kesehatan,
4. Hak
kebudayaan meliputi hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayan masyarakat,
mengambil moral dan material yang timbul dalam dari hasil karya cipta seseorang
dalam bidang ilmu kesusastraan maupun seni.
B.
Pengertian HAM
HAM
adalah hak – hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah
Tuhan dibawa sejak lahir.
HAM
adalah hak – hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan
kodratnya (Kaelan, 2002).
HAM
adalah hak – hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat
dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci (Koentjoro Poerbapranoto,
1976 ).
Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB),
dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin
Lopa, HAM adalah hak – hak yang melekat pada setiap manusia yang tanpanya
mustahil dapat hidup.
Dalam pasal 1 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah – Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah
maupun setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
C.
Macam-macam HAM
1. HAM
Menurut Sifatnya
a. HAM klasik adalah hak
yang timbul dari keberadaan manusia itu sendiri, contohnya hak
hidup dan hak beragama.
b. HAM sosial adalah hak
yang berhubungan dengan kebutuhan manusia, contohnya hak memperoleh
sesuatu, pendidikan dan lain – lain.
2. HAM Menurut Bidangnya
a. Hak Asasi Pribadi (Personal Rights)
1) Hak
kebebasan memilih dan aktif di organisasi,
2) Hak
kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat,
3) Hak
kebebasan untuk bergerak, berpergian dan pindah – pindah tempat,
4) Hak
kebebasan untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama serta kepercayan yang
diyakini masing – masing.
b. Hak Asasi Politik (Political
Right)
1) Hak
ikut serta dalam kegiatan pemerintahan,
2) Hak
untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan,
3) Hak
untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi,
4) Hak
membuat dan mendirikan parpol dan organisasi politik lainnya.
c. Hak Asasi Hukum (Legal
Equality Right)
1) Hak
untuk menjadi PNS,
2) Hak
mendapat layanan dan perlindungan hukum,
3) Hak
mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
d. Hak Asasi
Ekonomi (Property Rigths)
1) Hak
kebebasan untuk memiliki susuatu,
2) Hak
kebebasan melakukan kegiatan jual –beli,
3) Hak
kebebasan mengadakan perjanjian kontrak,
4) Hak
memiliki dan mendapatkan pekerjaanyang layak,
5) Hak
kebebasan menyelenggarakan sewa –menyewa, hutang – piutang.
e. Hak
Asasi Peradilan (Procedural Rights)
1) Hak
mendapat pembelaan hukum di pengadilan,
2) Hak
persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan
di mata hukum.
f. Hak Asasi Sosial Budaya (Social
Culture Right)
1) Hak
mendapatkan pengajaran,
2) Hak
menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan,
3) Hak
untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.
D.
Instrumen HAM
1. Undang
– Undang
Pelaksanaan HAM di Indonesia telah diatur dalam perundang –
undangan yaitu tercantum pada UUD 1945 BAB XA pasal 28A – 28J. Selain itu, di
tingkat internasional diakui dalam Universal Declaration of Human Right.
2.
Lembaga
Lembaga diperlukan agar penanganan masalah HAM dapat lebih teratur
dan dapat mengadukan pelanggaran HAM yang kita alami kepada lembaga tersebut.
Beberapa lembaga yang menangani masalah pelanggran HAM dan penegakan HAM
diantaranya Komnas HAM, kepolisian dan pengadilan.
3. Sumber
Daya Manusia (SDM)
SDM ini tidak terbatas pada masyarakat saja, tetapi juga pada
pemerintah, DPR, aparat penegak hukum lainnya. Penegakan HAM akan lebih mudah
dilaksanakan, apabila SDMnya sadar akan HAM. Caranya yaitu dengan memberikan
pendidikan tentang HAM melalui sekolah, media massa dan lain – lain.
E.
Pelanggaran HAM Di Indonesia
Menurut pakar hukum Adnan Buyung Nasution pelanggaran HAM dapat
dikelompoan menjadi 4 golongan, yaitu :
1. Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan
a. Daerah
Operasi Militer (DOM) di Aceh,
b. Gerakan
30 September / PKI tahun 1965,
c. Kasus
Timor – Timur pada tahun 1971 – 1977 dan 1982 – 1997,
d. Penembakan
terhadap mahasiswa pada peristiwa Semanggi I dan II tahun 1998,
e. Peristiwa
Tanjung Priok tahun 1984 dengan pembunuhan terhadap kelompok umat Islam,
f. Penembakan
terhadap mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dengan gugur 4
orang pahlawan Revolusi.
2. Kejahatan
Terhadap Integritas Orang
a. Penembakan
misterius tahun 1982 – 1983,
b. Penghilangan
orang (Timor – Timur) tahun 1977 – 1982,
c. Arbritory
arrest dan dentemtion (komunis) tahun 1965 – 1971,
d. Arbritory
arrest dan dentemtion (Peristiwa Malari) tahun 1971 – 1977,
e. Peristiwa
27 Juli 1996 yaitu penyerbuan, perusakan dan pembunuhan pada markas PDI.
3. Tindakan
Kekekrasan Terhadap Hak Sipil dan Politik
a. Kebijakan
kemerdekaan berpendapat yang dilanggar,
b. Kemerdekaan
berserikat dan berkelompok yang secara stematik dilanggar,
c. Kebijakan
dari lembaga ekstra yudisial yang mencampai fungsi kehakiman,
4. Tindak
Kekekrasan Terhadap Hak Sosial Ekonomi dan Budaya
a. Proses
kemiskinan,
b. Pelanggaran
terhadap lingkungan hidup,
c. Pelanggaran
terhadap hak – hak masyarakat adat.
F.
Pengadilan HAM
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran
HAM yang berat. Pengadilan HAM meliputi :
1. Kejahatan
Genosida
Adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama dengan cara :
a. Membunuh
anggota kelompok,
b. Memindahkan
secara paksa anak – anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
c. Mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok,
d. Memaksakan
tindakan – tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok,
e. Menciptakan
kondisi kehidupan kelompok mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh
atau sebagiannya.
2. Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan
Adalah perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas
atau sistematik dan diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil berupa :
a. Penyiksaan,
b. Perbudakan,
c. Pemusnahan,
d. Pembunuhan,
e. Kejahatan
apartheid,
f. Penghilangan
orang secara paksa,
g. Pengusiran
penduduk secara paksa,
h. Perampasan
kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang – wenang,
i. Perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa,
j. Penganiayaan
terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham
politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain
yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional,
BAB VIII
GOOD GOVERNANCE
A. Pengertian
Good Governance
kata
‘good’ pada Good Governance bermakna:
1. Berorientasi
pada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
2. Keberdayaan
masyarakat dan swasta.
3. Pemerintahan
yang bekerja sesuai dengan hukum positif negara.
4. Pemerintahan
yang produktif, efektif dan efisien.
Sementara
‘governance’ nya bermakna:
1. Penyelenggaraan
pemerintah.
2. Aktivitas
pemerintah melalui fasilitas publik dan pelayanan publik.
Good
governance adalah penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Terkandung substansi
nilai:
· Bagaimana
pemerintah memimpin negara dengan bersih
· Bagaimana
masyarakat mengatur dirinya sendiri secara mandiri
· Bagaimana
pemerintah dan masyarakat menyelenggarakan pemerintahan secara
bertanggungjawab.
Istilah Good Governance pertama kali dipopulerkan oleh lembaga dana
internasional seperti World Bank dan UNDP. World Bank mendefinisikan kata
governance the way state power is used in managing economic and social
resources for development society.Pengertian ini menggambarkan
bahwa governance adalah cara, yakni cara kekuasaan negara untuk
mengelola sumber-sumber daya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat.
Cara ini lebih menunjukkan pada hal-hal yang bersifat teknis.
Sejalan dengan pendapat World Bank, UNDP (United Nation Development
Program) mengemukakan definisi governance sebagai the exercise of
political, economic and administrative authority to manage a nation’s affair at
all levels. Kata governance berarti penggunaan atau pelaksanaan, yaitu
penggunaan kewenangan politik, ekonomi dan administratif untuk mengelola
masalah-masalah nasional pada semua tingkatan. Disini, titik tekannya pada
kewenangan, kekuasaan yang sah, atau kekuasaan yang memiliki legitimasi.
Berdasarkan pengertian tersebut, World Bank lebih menekankan pada cara
pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan
pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada aspek politik,
ekonomi dan administratif dalam pengelolaan negara.
Menurut Pierre Landell-Mills &Ismael
Seregeldin mendefinisikan good governance sebagai penggunaan otoritas
politik dan kekuasaan untuk mengelola sumber daya demi pembangunan sosial
ekonomi. Sedangkan menurut Robert Charlickmengartikan ggo governance
sebagai pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif melalui pembuatan
peraturan dan/atau kebijakan yang absah demi untuk mempromosikan nilai-nilai
kemasyarakatan.
Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan
sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘’baik’’ disini dimaksudkan
sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
Good Governance.
B. Prinsip
dan Pilar Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip didalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan
tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai
bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance.
Prinsip-prinsip itu diantaranya adalah:
1. Partisipasi
(Participation)
Sebagai pemilik kedaulatan, setiap warga negara mempunyai hak dan
kewajiban untuk mengambil bagian dalam proses bernegara, berpemerintahan, serta
bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara langsung ataupun
melalui institusi intermediasi, seperti DPRD, LSM, dan lainnya. Partisipasi
yang diberikan dapat berbentuk buah pikiran, dana, tenaga, ataupun
bentuk-bentuk lainnya yang bermanfaat. Partisipasi warga negara dilakukan tidak
hanya pada tahapan implementasi, tetapi secara menyeluruh, mulai tahapan
penyusunan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi, serta pemanfaatan hasil-hasilnya.
Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan
berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan, yaitu:
a. Ada
rasa kesukarelaan.
b. Ada
keterlibatan secara emosional.
c. Memperoleh
manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatannya.
2. Penegakan
hukum (Rule of Law)
Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan demokrasi adalah adanya
penegakan hukum yang adil dan tidak pandang bulu. Tanpa penegakan hukum yang
tegas, tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, tetapi anarki. Tanpa
penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya sendiri tanpa
mengindahkan kepentingan orang lain dengan menghalalkan segala cara. Oleh
karena itu, langkah awal penciptaan good governance adalah membangun sistem
hukum yang sehat, baik perangkat lunaknya, perangkat kerasnya maupun sumber
daya manusia yang menjalankan sistemnya.
3. Transparansi
(Transparancy)
Salah satu karakteristik good governance adalah keterbukaan.
Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka adanya
revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek aktivitas yang
menyangkut kepentingan publik, dari proses pengambilan keputusan, penggunaan
dana-dana publik, sampai pada tahapan evaluasi.
4. Daya
tanggap (responsiveness)
Sebagai konsekuensi logis dari keterbukaan, setiap komponen yang
terlibat dalam proses pembangunan good governance harus memiliki daya tanggap
terhadap keinginan atau keluhan para pemegang saham (stake holder). Upaya
peningkatan daya tanggap tersebut, terutama ditujukan pada sektor publik yang
selama ini cenderung tertutup, arogan, serta berorientasi pada kekuasaan. Untuk
mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh sektor
publik, secara periodik perlu dilakukan survei untuk mengetahui tingkat
kepuasan konsumen (customer satisfaction).
5. Berorientasi
pada konsensus (consensus orientation)
Kegiatan bernegara, berpemerintahan, dan bermasyarakat pada
dasarnya merupakan aktivitas politik, yang berisi dua hal utama, yaitu konflik
dan konsensus. Dalam good governance, pengambilan keputusan ataupun
pemecahan masalah bersama lebih diutamakan berdasarkan konsensus, yang
dilanjutkan dengan kesediaan untuk konsisten melaksanakan konsensus yang telah
diputuskan bersama. Konsensus bagi bangsa indonesia sebenarnya bukanlah hal
yang baru, karena nilai dasar kita dalam memecahkan persoalan bangsa adalah
melalui musyawarah untuk mufakat.
6. Keadilan
(equity)
Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi, karena
kemampuan masing-masing warga negara berbeda-beda, sektor publik harus
memainkan peranan agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring
sejalan.
7. Efektif
dan efisien (efectiveness and efficiency)
Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia,
kegiatan ketiga domain dan governance harus mengutamakan efektivitas dan
efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan efisiensi
terutama ditujukan pada sektor publik karena sektor ini menjalankan
aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa kompetisi, tidak akan ada efisiensi.
8. Akuntabilitas
(accountability)
Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu
mempertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak
hanya diberikan kepada atasan saja, tetapi juga pada para pemegang saham yaitu
masyarakat luas. Secara teoritis, akuntabilitas dapat dibedakan menjadi lima
macam, yaitu:
a. Akuntabilitas
organisasi
b. Akuntabilitas
legal
c. Akuntabilitas
politik
d. Akuntabilitas
profesional
e. Akuntabilitas
moral
9. Visi
strategis (strategic vision)[1]
Dalam era yang berubah secara dinamis, setiap domain dalam good
governance harus memiliki visi yang strategis. Tanpa visi semacam itu, suatu
bangsa dan negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu, dapat dibedakan
antara visi jangka panjangm (long time vision) antara 20 sampai 25 tahun serta
visi jangka pendek (short time vision) sekitar 5 tahun.
Prinsip-prinsip good governance pada dasarnya mengandung nilai yang
bersifat objektif dan universal yang menjadi acuan dalam menentukan tolak ukur
atau indikator dan ciri-ciri/karakteritik penyelenggaraan pemrintahan negara
yang baik. Prinsip-prinsip good governance dalam praktik penyelenggaraan negara
dituangkan dalam tujuh asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Berih dan
Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Prinsip atau asas umum dalam
penyelenggaraan negara yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999
meliputi sebagai berikut:
1. Asas
kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam
setiap kebijakan enyelenggaraan negara.
2. Asas
tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan
negara.
3. Asas
kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan
cara aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas
keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif, tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan dan rahasia negara.
5. Asas
proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggaraan negara.
6. Asas
profersionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas
akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Disamping
itu, juga terdapat pilar-pilar good governance diantaranya:
1) Negara
atau pemerintahan (state), berfungsi dalam hal:
a.
Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil
b. Membuat
peraturan yang efektif dan berkeadilan
c.
Menyediakan public service yang efektif dan accountable
d.
Menegakkan HAM
e.
Melindungi lingkungan hidup
f.
Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik.
2)
Sektor swasta atau dunia usaha (private sector), berfungsi dalam hal:
a.
Menjalankan industri
b.
Menciptakan lapangan kerja
c.
Menyediakan insentif bagi karyawan
d.
Meningkatkan standar hidup masyarakat
e.
Memelihara lingkungan hidup
f.
Menaati peraturan
g.
Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat
h.
Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM
3) Masyarakat
(society), berfungsi dalam hal:
a.
Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi
b.
Mempengaruhi kebijakan public
c.
Sebagai sarana cheks and balances pemerintah
d.
Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah
e.
Mengembangkan SDM
f.
Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat
Pada negara yang sedang berkembang yang sektor swasta dan sektor
masyarakat relatif belum maju, sektor pemerintah memegang peranan yang sangat
menentukan. Sektor pemerintah harus bertindak sebagai promotor pembangunan.
Pada saatnya apabila sektor swasta dan sektor masyarakat semakin maju karena
pembangunan, peranan sektor pemerintah secara bertahap mulai berkurang.
Tarik-menarik peranan antara sektor pemerintah dan sektor swasta dan sektor
masyarakat apabila tidak dikelola secara bijak akan dapat menimbulkan berbagai
ketegangan sosial. Dalam hal ini diperlukan pimpinan nasional yang memiliki
dukungan legitimasi politik yang kuat, memiliki kharisma, serta kemampuan
mnajerial untuk mengendalikan perubahan.
C. Hubungan
antara Good Governance dengan Otonomi Daerah
Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan
keinginan pemerintah untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya
penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan
hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para
penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan penyimpangan.
Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya
terdapat 7 elemen penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung
dari bersinergi satu sama lainnya, yaitu :
1.
Urusan Pemerintahan
2.
Kelembagaan
3
Personil
4.
Keuangan
5.
Perwakilan
6.
Pelayanan Publik
7.
Pengawasan.
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dan
dikembangkan serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 Tahun 2004. Namun
disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat juga hal-hal
yang bersifat kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka penataan otonomi
daerah di Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan Otonomi Khusus NAD, dari
Papua penataan daerah dari wilayah perbatasan , serta pemberdayaan
masyarakat.Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan langkah-langkah
menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari
mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan
kondisi rill yang ada saat ini.
Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat sangat berperan,
dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi,
namun peran negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat
tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan didalam masyarakat
pemerinah mempunyai peran yang sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat
dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU no
32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami kepada daerah juga menjadi salah satu
bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah
perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan kepala daerah, perimbangan
keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Peraturan daerah pun telah
masuk dalam Tata urutan peraturan perundang - undangan nasional (UU no 10 tahun
2004), Pengawasan oleh masyarakat.
Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam
penyelenggaran pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang menegaskan
bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban Kepala Daerah untuk
memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintahan, dan
memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta
menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang
dapat diperoleh yakni, akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat
dari sudut pandang politis semata. Hal ini merupakan antitesis sistem
akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana penilaian terhadap laporan
pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan pada
indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada
indikator kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan
pemerintahan daerah tidak mempunyaidampak politis ditolak atau diterima. Dengan
demikian maka stabilitas penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih
terjaga.
Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat
dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi
dengan cara: Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi
atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian
pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun
represif atas masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang
berwenang dan atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun
2001, masyarakat berhak memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah
yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk
memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan. Dengan
demikian, jelas bahwa Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dipersiapkan untuk menjadi
instrumen yang diharapkan dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan konsep good
governance dalam penyelenggaraan pemerintahan di indonesia.
D. Optimalisasi
Pelaksanaan Otonomi Daerah melalui Good Governance
Good governance dapat ditinjau sebagai bentuk pergeseran paradigma
konsepgoverment (pemerintah)
menjadi governance (kepemerintahan). Secara epistemologis, perubahan
paradigma goverment berwujud pada pergeseran mindset dan
orientasi birokrasi sebagai unit pelaksana dan penyedia layanan bagi
masyarakat, yang semula birokrat melayani kepentingan kekuasaan menjadi
birokrat yang berorientasi pada pelayanan publik.
Salah satu bentuk layanan tersebut adalah penertiban regulasi yang dapat
menciptakan suasana yang kondusif bagi masyarakat. Akan tetapi, sebelum lebih
jauh kita menelaah kiat-kiat dalam menciptakan regulasi yang kondusif,
tidak ada salahnya apabila kita memulainya dengan memahami terlebih dahulu
beberapa konsep dasar dalam kebijakan publik.
Dalam kacamata awam, pemerintahan yang baik identik dengan pemerintahan yang
mampu memberikan pendidikan gratis, membuka banyak lapangan kerja, mengayomi
fakir miskin, menyediakan sembako murah, memberikan iklik investasi yang
kondusif dan bermacam kebaikan lainnya. Dengan kata lain, pemerintah dianggap
baik apabila ia mampu melindungi dan melayani masyarakatnya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pelayanan umum yang berkualitas merupakan ukuran untuk
menilai sebuah pemerintahan yang baik, sedangkan pelayanan umum yang buruk lebih
mencerminkan pemerintahan yang miskin inovasi dan tidak memiliki
keinginan untuk menyejahterakan masyarakatnya (bad governance).
Berbicara tentang good governance biasanya lebih dekat dengan masalah
pengelolaan manajemen pemerintahan dalam membangun kemitraan dengan stake
holder (pemangku kepentingan). Oleh karena itu, good governance menjadi
sebuah kerangka konseptual tentang cara memperkuat hubungan antara pemerintah,
sektor swasta dan masyarakat dalam nuansa kesetaraan. Hubungan yang harmonis
dalam nuansa kesetaraan merupakan prasyarat yang harus ada. Sebab, hubungan
yang tidak harmonis antara ketiga pilar tersebut dapat menghambat kelancaran
proses pembangunan.
BAB IX
OTONOMI DAERAH
A. Pengertian
Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf
(h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1
huruf (i) UU NOMOR 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian
otonomi derah adalah hak ,wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Suparmoko
(2002:61) mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.
Otonomi daerah dengan sistem desentralisasi yaitu penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam rangka negara
kesatuan. Desentralisasi mengandung segi positif dalam penyelenggaraan
pemerintahan baik dari sudaut politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan
keamanan, karena dilihat dari fungsi pemerintahan. Sedangkan otonomi daerah
dengan sistem dekonsentrasi adalah peimpahan wewenang dari pemerintahan kepada
daerah otonom sebagai wakil pemerintah dan perangkat pusat di daerah dalam
kerangka negara kesatuan, dan lembaga yang melimpahkan kewenangan dapat
memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi kewenangan itu mengenai
pengambilan atau pembuatan keputusan.
B.
Hakikat Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan
pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Berkaiatan
dengan hakekat otonomi daerah tersebut yang berkenaan dengan pelimpahan
wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan
pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat
maka peranan data keuangan daerah sangat dibututuhkan untuk mengidentifikasi
sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus
dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran
dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya
merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam
pengelolaan keuangan daerah untuk meliahat kemampuan/ kemandirian daerah
(Yuliati, 2001:22)
C.
Prinsip Otonomi Daerah
Menurut penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, prinsip
penyelenggaraan otonomi daerah adalah : penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan dengan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan
keaneka ragaman daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi
luas, nyata dan bertanggung jawab. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan
utuh diletakkan pada daerah dan daerah kota, sedangkan otonomi provinsi adalah
otonomi yang terbatas. Pelaksanaan otonomi harus sesuai dengan konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
daerah kabupaten dan derah kota tidak lagi wilayah administrasi. Demikian pula
di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah. Pelaksanaan otonomi
daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah baik
sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan, mempunyai fungsi anggaran atas
penyelenggaraan otonomi daerah. Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada
daerah propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan
kewenangan pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya di
pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan, sarana dan
pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan
dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan
konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam
perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan
bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit
politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak
tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak
ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat
jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang
terdapat dalam UU berikut ini:
1. UU
No. 1 tahun 1945Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan
pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan
pusat.
2. UU
No. 22 tahun 1948Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan
pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu
sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah
pusat.
3. UU
No. 1 tahun 1957Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme,
di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat
pemerintah pusat.
4. Penetapan
Presiden No.6 tahun 1959Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan
dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat
terutama dari kalangan pamong praja.
5. UU
No. 8 tahun 1965Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada
desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah,
sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja
6. UU
No. 5 tahun 1974 Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi
kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan
dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa
berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan
politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi
peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang
menjadi isu nasional.
7. UU
No. 22 tahun 1999 Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan
pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
D.
Dasar Hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Dasar
Hukum Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat,
yakni :
1. Undang-undang
Dasar. Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan
landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD
menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
2. Ketetapan
MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah :
Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan,
erta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3. Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas
Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong
untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas,
meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak
diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat.
Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut
pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.
Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah Isi dan jiwa yang
terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam
penyusunan UU No. 22/1999 dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1.Sistem
ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan
berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Daerah
yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah
propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah
daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas
desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
3. Pembagian
daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian,
wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota dapat
dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
4. Kecamatan
yang menurut Undang-undang Nomor 5 th 1974 sebagai wilayah administrasi dalam
rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99 kedudukanya diubah menjadi perangkat
daerah Kabupaten atau daerah Kota.
E.
Tujuan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Menurut Mardiasmo (Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah) adalah:
Untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dam memajukan perekonomian
daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal, yaitu:
·
Meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
·
Menciptakan
efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.
·
Memberdayakan
dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam
proses pembangunan.
Selanjutnya tujuan otonomi daerah menurut penjelasan Undang-undang
No 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah sama yaitu otonomi daerah diarahkan untuk
memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan
rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat secara nyata,
dinamis, dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan
memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal.
F.
Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dampak positif dalam bidang politik adalah sebagian besar keputusan
dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya
campur tangan dari pemerintahan di pusat. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah
lebih aktif dalam mengelola daerahnya.
Tetapi, dampak negatif yang terlihat dari sistem ini adalah euforia
yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkat kepentingan
golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau
oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di
tingkat pusat.
Untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah, diperlukan dana
yang tidak sedikit. Akan tetapi, tidak semua daerah mampu mendanai sendiri
jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu, Pemerintah harus mampu membagi
adil dan merata hasil potensi masyarakat. Agar adil dan merata, diperlukan
aturan yang baku.
BAB X
MASYARAKAT MADANI
A.
Pengertian Masyarakat Madani
Pengertian Masyarakat Madani menurut
para ahli:
1.
Mun’im
(1994) mendefinisikan istilah Øcivil society sebagai seperangkat gagasan etis yang
mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari
gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan
antarindividu, masyarakat, dan negara.
2.
Hefner
menyatakan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat modern yang bercirikan
demokratisasi dalam beriteraksi di masyarakat yang semakin plural dan
heterogen. Dalam keadan seperti ini masyarakat diharapkan mampu
mengorganisasi dirinya, dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan
peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi
global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.
3.
Mahasin
(1995) menyatakan bahwa masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa
Inggris, Øcivil society. Kata civil society sebenarnya berasal dari
bahasa Latin yaitu civitas dei yang artinya kota Illahi
dan society yang berarti masyarakat. Dari
kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang
berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat
diartikan sebagai komunitas masyarakat kota yakni masyarakat yang telah
berperadaban maju.
Istilah madani menurut Munawir (1997) sebenarnya berasal dari
bahasa Arab,Ømadaniy. Kata madaniy berakar dari kata
kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian
berubah istilah menjadimadaniy yang artinya beradab, orang kota, orang
sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian,
istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep
masyarakat madani menurut Madjid (1997) kerapkali dipandang telah berjasa dalam
menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang
sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur.
Hall (1998) mengemukakan bahwa masyarakat madani identik
dengan civil society, artinya suatu ide, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu
komunitas yang dapat terjewantahkan dalam kehidupan sosial. Pada masyarakat
madani pelaku social akan bepegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan.
Intinya, berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki multimakna atau bermakna
ganda yaitu: demokratis, menjunjung tinggi etika dan
moralitas, transparansi, toleransi, berpotensi,
aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsistensi, memiliki
perbandingan, komparasi, mampu berkoordinasi, simplifikasi, sinkronisasi,
integrasi, mengakui emansipasi, dan hak asasi, sederhana,namun yang paling
dominan adalah masyarakat yang demokratis. Dengan mengetahui makna madani, maka
istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami sebagai masyarakat yang
beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau
berfaham masyarakat kota yang pluralistik.
B.
Manfaat Masyarakat Madani
Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya masyarakat madani ialah
terciptanya masyarakat Indonesia yang demokratis sebagai salah satu tuntutan
reformasi di dalam negeri dan tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar
negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan mendorong munculnya
inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan. Selanjutnya, dengan terwujudnya
masyarakat madani, maka persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia seperti:
konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial,
kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian “kue bangsa” antara pusat dan
daerah, saling curiga serta ketidakharmonisan pergaulan antarwarga dan
lain-lain yang selama Orde Baru lebih banyak ditutup-tutupi, direkayasa dan
dicarikan kambing hitamnya itu diharapkan dapat diselesaikan
secara arif, terbuka, tuntas, dan melegakan semua pihak, suatu prakondisi untuk
dapat mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Dengan
demikian, kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah.
Guna mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan motivasi yang tinggi
dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Hal ini intinya
menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat madani diperlukan proses dan waktu
serta dituntut komitmen masing-masing warganya untuk mereformasi diri secara
total dan selalu konsisten dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak
terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan
toleransi sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi.
C.
Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani
Istilah masyarakat madani dalam bahasa Inggris dikenal dengan
istilah civil society pertama kali dikemukan oleh Cicero dalam filsafat politiknya
dengan istilah societies civilis yang identik dengan negara. Rahadrjo
(1997) menyatakan bahawa istilah civil society sudah adasejak
zaman sebelum masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil
society adalah Cicero (104-43 SM), sebagai oratur yunani.Civil
society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab
seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri.
Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka dipahami
bukan hanya sekadar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat
peradaban dan kebudayaan.
Filsuf yunani Aristoteles (384-322 M) yang memandang masyarakat
sipil sebagai suatu sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri,
pandangan ini merupakan Fase pertama sejarah wacana civil society, yang
berkembang dewasa ini, yakni masyarakat sivil diluar dan penyeimbang lembaga
negara, pada masa ini civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan
menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat
warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan
pengambilan keputusan.
Fase kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana
civil society, dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan
pendahulunya, ia lebih menekankan visi etis pada civil society, dalam kehidupan
sosial, pemahaman ini lahir tidak lepas dari pengaruh revolusi industri dan
kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok.
Fase ketiga, berbeda dengan pendahulunya, pada tahun 1792 Thomas
Paine memaknai wacana civil society sebagai suatu yang berlawanan dengan
lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagain anitesis negara, bersandar pada
paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi, menurut pandangan ini,
negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka, konsep negera yang absah,
menurut pemikiran ini adalah perwujudkan dari delegasi kekuasaan yang diberikan
oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama.
Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh
G.W.F Hegel (1770-1831 M), Karl Max (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci
(1891-1837 M). dalam pandangan ketiganya, civil society merupakan elemen
ideologis kelas dominan, pemahaman ini adalah reaksi atau pandangan Paine,
Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara,
pandangan ini, menurut pakar politik Indonesia Ryass Rasyid, erat kaitannya
dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi Eropa yang pertumbuhannya
ditandai oleh pejuang melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.
Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab
Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis dengan Tocqueville (1805-1859),
bersumber dari pengalamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, ia memandang
civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara, menurutnya kekuatan
politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi
Amerika mempunyai daya tahan yang kuat.
Di Indonesia, pengertian masyarakat madani pertama kali diperkenalkan
oleh Anwar Ibrahim (mantan Deputi PM Malaysia) dalam festival Istiqlal 1995.
Oleh Anwar Ibrahim dinyatakan bahwa masyarakat madani adalah: Sistem sosial
yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan perorangan dan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong
daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan
pemerintahan, mengikuti undang – undang dan bukan nafsu atau keinginan
individu, menjadikan keterdugaan serta ketulusan.
Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal pergerakan
kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan
Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999). Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir
ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama di bawah
pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan
perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini
tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien Rais
dari Yogyakarta.
D.
Ciri-Ciri Masyarakat Madani
Ciri utama masyarakat madani adalah demokrasi. Demokrasi
memilikikonsekuensi luas di antaranya menuntut kemampuan partisipasi masyarakat
dalam sistem politik dengan organisasi-organisasi politik yang independen
sehingga memungkinkan kontrol aktif dan efektif dari masyarakat terhadap
pemerintah dan pembangunan, dan sekaligus masyarakat sebagai pelaku ekonomi
pasar.
Hidayat Nur Wahid mencirikan masyarakat madani sebagai masyarakat
yang memegang teguh ideology yang benar, berakhlak mulia, secara
politik-ekonomi-budaya bersifat mandiri, serta memiliki pemerintahan sipil.
Sedangkan
menurut Hikam, ciri-ciri masyarakat madani adalah :
·
Adanya
kemandirian yang cukup tinggi diantara individu-individu dan kelompok-kelompok
masyarakat terhadap negara.
·
Adanya
kebebasan menentukan wacana dan praktik politik di tingkat publik.
·
Kemampuan
membatasi kekuasaan negara untuk tidak melakukan intervensi.
Karakteristik
masyarakat madani adalah sebagai berikut :
Free public sphere(ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat
memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan
kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul,
serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip
demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan
demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi,
kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada
orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain.
Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima
pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat,
sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan
oleh orang/kelompok lain.
Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat
yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai
positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian
yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu
terhadap lingkungannya.
Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar
bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain,
sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang
bertanggungjawab.
Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya
keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang
memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
E.
Masyarakat Madani di Indonesia
Indonesia memiliki tradisi kuat civil society (masyarakat madani)
bahkan jauh sebelum negara bangsa berdiri, masyarakat sipil telah berkembang
pesat yang diwakili oleh kiprah beragam organisasi sosial keagamaan dan
pergerakan nasional dalam dalam perjuangan merebut kemerdekaan, selain berperan
sebagai organisasi perjuangan penegakan HAM dan perlawanan terhadap kekuasaan
kolonial, organisasi berbasis islam, seperti Serikat Islam (SI), Hahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah, telah menunjukan kiprahnya sebagai komponen civil
society yang penting dalam sejarah perkembangan masyarakat sipil di Indonesia.
Terdapat beberapa strategi yang ditawarkan kalangan ahli tentang
bagaimana seharusnya bangunan masyarakat madani bisa terwujud di Indonesia :
·
Pandangan
integrasi nasional dan politik. Pandangan ini menyatakan bahwa sistem demokrasi
tidak munkin berlangsung dalam kenyataan hidup sehari-hari dalam masyarakat
yang belum memiliki kesadaran dalam hidup berbangsa dan bernegara.
·
Pandangan
reformasi sistem politk demokrasi, yakni pandangan yang menekankan bahwa untuk
membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada pembangunan ekonomi,
dalam tataran ini, pembangunan institusi politik yang demokratis lebih
diutamakan oleh negara dibanding pembangunan ekonomi.
·
Paradigma
membangun masyarakat madani sebagai basis utama pembangunan demokrasi,
pandangan ini merupakan paradigma alternatif di antara dua pandangan yang
pertama yang dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi, berbeda dengan dua
pandangan pertama, pandangan ini lebih menekankan proses pendidikan dan
penyadaran politik warga negara, khususnya kalangan kelas menengah.
Bersandar pada tiga paradigma diatas, pengembangan demokrasi dan
masyarakat madani selayaknya tidak hanya bergantung pada salah satu pandangan
tersebut, sebaliknya untuk mewujudkan masyarakat madani yang seimbang dengan
kekuatan negara dibutuhkan gabungan strategi dan paradigma, setidaknya tiga
paradigma ini dapat dijadikan acuan dalam pengembangan demokrasi di masa
transisi sekarang melalui cara :
ü Memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi
kelas menengah untuk berkembang menjadi kelompok masyarakat madani yang
mandiri secara politik dan ekonomi, dengan pandangan ini, negara harus
menempatkan diri sebagai regulator dan fasilitator bagi pengembangan ekonomi
nasional, tantangan pasar bebas dan demokrasi global mengharuskan negara
mengurangi perannya sebagai aktor dominan dalam proses pengembangan masyarakat
madani yang tangguh.
ü Mereformasi sistem politik demokratis melalui pemberdayaan
lembaga-lembaga demokrasi yang ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi,
sikap pemerintah untuk tidak mencampuri atau mempengaruhi putusan hukum yang
dilakukan oleh lembaga yudikatif merupakan salah satu komponen penting dari
pembangunan kemandirian lembaga demokrasi.
ü Penyelenggaraan pendidikan politik (pendidikan demokrasi) bagi
warga negara secara keseluruhan. Pendidikan politik yang dimaksud adalah
pendidikan demokrasi yang dilakukan secara terus-menerus melalui keterlibatan
semua unsur masyarakat melalu prinsip pendidikan demokratis, yakni pendidikan
dari, oleh dan untuk warga negara.
Kondisi Indonesia yang dilanda euforia demokrasi, semangat otonomi
daerah dan derasnya globalisasi membutuhkan masyarakat yang mempunyai kemauan
dan kemampuan hidup bersama dalam sikap saling menghargai, toleransi, dalam
kemajemukan yang tidak saling mengeksklusifkan terhadap berbagai
suku, agama, bahasa, dan adat yang berbeda. Kepedulian, kesantunan,
dan setiakawan merupakan sikap yang sekaligus menjadi prasarana yang
diperlukan bangsa Indonesia.
Pengembangan masyarakat madani di Indonesia tidak bisa dipisahkan
dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri. Kebudayaan, adat istiadat,
pandangan hidup, kebisaan, rasa sepenanggungan, cita-cita dan hasrat bersama
sebagai warga dan sebagai bangsa, tidak mungkin lepas dari lingkungan serta
sejarahnya. Keunggulan bangsa Indonesia, adalah berhasilnya proses akulturasi
dan inkulturasi yang kritis dan konstruktif. Pada saat ini, ada pertimbangan
lain mengapa pengembangan masyarakat madani secara khusus kita beri perhatian.
Untuk
membangun masyarakat madani di Indonesia, ada enam faktor harus
diperhatikan, yaitu:
a.
Adanya
perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat,
dan dapat mendukung kegiatan pemerintahan.
b.
Tumbuhnya
intelektualitas dalam rangka membangun manusia yang memiliki komitmen untuk
independen.
c.
Terjadinya
pergeseran budaya dari masyarakat yang berbudaya paternalistik menjadi budaya
yang lebih modern dan lebih independen.
d.
Berkembangnya
pluralisme dalam kehidupan yang beragam.
e.
Adanya
partisipasi aktif dalam menciptakan tata pamong yang baik.
f.
Adanya
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang melandasi moral kehidupan.
F.
Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Madani
Terdapat
dua faktor yang mempengaruhi masyarakat madani, yaitu faktor pendorong dan
faktor penghambat.
Beberapa
faktor pendorong timbulnya masyarakat madani:
ü Adanya penguasa politik yang cenderung mendominasi (menguasai)
masyarakat agar patuh dan taat pada penguasa.
ü Masayarakat diasumsikan sebagai orang yang tidak memilkik kemampuan
yang baik (bodoh) dibandingkan dengan penguasa ( pemerintah).
ü Adanya usaha untuk membatasiruang gerak dari masyarakat dalam
kehidupan poitik. Keadaan ini sangat menyulitkan bagi masyarakat
untuk mengemukakan pendapat, karena ruang publik yang bebaslah individu
berada dalam posisi setara, dan melakukan transaksi.
Adapun
yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia
diantaranya :
a.
Kualitas
Sumber Daya Manusiayang belum memadai karena pendidikan yang belum
merata.
b.
Masih
rendahnya pendidikan politik masyarakat.
c.
Kondisi
ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
d.
Tingginya
angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas.
e.
Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.
f.
Kondisi
sosial politik yang belum pulih pasca reformasi.
G.
Solusi Mengatasi Masalah
Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah dengan
melakukan demokratisasi pendidikan. Masyarakat madani perlu segera
diwujudkan karena bermanfaat untuk meredam berbagai tuntutan reformasi dari
dalam negeri maupun tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di
samping itu, melalui masyarakat madani akan muncul inovasi-inovasi pendidikan
dan menghindari terjadinya disintegrasi bangsa.
Untuk mewujudkan masyarakat madani dalam jangka panjang adalah
dengan cara melakukan demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan ialah
pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan
cita-cita masyarakat madani. Melalui demokratisasi pendidikan akan terjadi
proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar
mengajarnya. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu
memperhatikan masalah-masalah pragmatik. Pengajaran yang kurang menekankan pada
konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas
dari akar budaya dan masyarakatnya. Demokrasi sendiri adalah suatu bentuk
pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya,
demokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu fungsi-fungsi kekuasaan politik
merupakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa depannya
ditentukan oleh dan untuk rakyat, sedangkan demokratisasi ialah proses menuju
demokrasi. Tujuan demokratisasi pendidikan ialah menghasilkan lulusan yang
merdeka, berpikir kritis dan sangat toleran dengan pandangan dan
praktik-praktik demokrasi.
Generasi penerus sebagai anggota masyarakat harus benar-benar
disiapkan untuk membangun masyarakat madani yang dicita-citakan. Masyarakat dan
generasi muda yang mampu membangun masyarakat madani dapat dipersiapkan melalui
pendidikan. Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah melalui
jalur pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Generasi penerus merupakan anggota masyarakat madani di masa
mendatang. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali cara-cara berdemokrasi
melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan
berguna untuk menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan
mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab, turut bertanggung jawab,
terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan
keberanian moral yang tinggi, terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa
memiliki, sama-sama merasakan suka dan duka dengan masyarakatnya, dan
mempelajari kehidupan masyarakat. Kelak jika generasi penerus ini menjadi
pemimpin bangsa, maka demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya akan
mengajarkan kepadanya bahwa seseorang penguasa tidak boleh terserabut dari
budaya dan rakyatnya, pemimpin harus senantiasa mengadakan kontak dengan
rakyatnya, mengenal dan peka terhadap tuntutan hati nurani rakyatnya, suka dan
duka bersama, menghilangkan kesedihan dan penderitaan-penderitaan atas
kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya. Upaya ke arah ini dapat ditempuh melalui
demokratisasi pendidikan. Dengan komunikasi struktural dan kultural antara
pendidik dan peserta didik, maka akan terjadi interaksi yang sehat,
wajar, dan bertanggung jawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar