Kamis, 28 Desember 2017

MACAM-MACAM HADIST BERDASARKAN KUANTITAS DAN KUALITAS

MACAM-MACAM HADIST BERDASARKAN

KUANTITAS DAN KUALITAS

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadist
Dosen :
Deden Suparman, M.A..

index.jpg
Oleh :

Nurillah Novia H

1147020049

Rissa Rohimah

1147020056

Sarah Permatasari

1147020059

Siti Nursifa Windasari

Sodikin

1147020063

1147020069

 

 


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015


KATA PENGANTAR


Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada umat manusia. Serta shalawat dan salam dijunjungkan kepada Nabi Muhammah SAW, yang telah membawa umat islam dari masa kegelapan menuju masa terang-benderang.
Pada kesempatan ini penulis menyusun makalah berjudul MACAM-MACAM HADIST BERDASARKAN KUANTITAS DAN KUALITAS Penulis telah mengusahakan penyusunan makalah ini semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar penyusunan makalah ini. Untuk itu penulis pun menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun segi lainnya.Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka penulis mempersilahkan bagi pembaca yang ingin memberikan saran dan kritik kepada penulis sehingga penulis dapat memperbaiki makalah ini.Akhirnya penulis mengharapkan semoga ini dapat diambil hikmah, pelajaran, dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.

Bandung,  April 2015



Penulis





BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

            Latar belakang adanya pembagian Hadits, sejarah periwayatan hadits Nabi , memang berbeda dengan sejarah periwayatan Al-Qur’an. Periwayatan Al-Qur’an dari Nabi kepada para sahabat berlangsung secara terbuka dan umum, sehingga jumlah sahabat yang mendengarkan dan kemudian menghafalya, jumlahnya tidak terhitung. Kemudian, Al-Qur’an itu oleh para sahabat disampaikan kepada para tabi’in dengan bentuk sama pula, dan demikian seterusnya para tabi’in dengan bentuk yang sama pula, dan seterusnya sampai kepada zaman kita. Sehingga dengan demikian, tak dapat diragukan lagi, bahwa Al-Qur’an sampai sekarang ini tetap terpelihara keorisilannya.. Di samping itu, Allah SWT sendiri telah menjamin akan terpeliharanya. Al-Qur’an itu, sebagaimana firman Allah dalam (Q.S al-Hijr:9).
Akan halnya periwayatan Hadis Nabi, tidaklah demikian sejarahnya.Memang benar, bahwa sejak zaman Nabi masih hidup, tidak sedikit para sahabat yang telah memiliki catatan-catatan di shahifahnya masing-masing disamping tidak sedikit juga yang mengahafalnya.Tetapi, dalam penyampaian Hadits oleh Rasulullah, terkadang bersifat umum dan terbuka, tetapi di samping itu tidak jarang pula dilakukan secara invidual, dihadapan satu-dua orang saja.Sebelum masa pendewaan Hadits telah terjadi berbagai pemalsuan Hadits, baik yang didasari oleh kepentingan politik, kepentingan agama (da’wah), atau kepentingan lainnya. Sehingga apa yang disampaikan oleh periwayatan Hadits sebagai Hadits Nabi, dengan sendirinya memerlukan penelitian yang ketat untuk menetapkan apakah benar riwayat tersebut berasal dari Nabi atau tidak.Apabila dilihat dari segi jumlah perawi yang meriwayatkan hadits Nabi dari generasi ke generasi, maka ternyata yang berkedudukan mutawatir sebagaimana periwayatan Al-Qur’an, jumlahnya tidaklah banyak. Karena itu, bila dilihat dari segi periwayatannya, maka kedudukan Hadits pada umumnya adalah kebenaran periwayatannya masih dalam status dugaan, sedang yang berstatus tidak diragukan lagi kebenaran periwayatannya, jumlahnya tidak banyak. Sudah barang tentu, Hadits Mutawatir, kedudukan periwayatannya lebih tinggi dari yang Hadits Ahad. Karena Hadits-hadits Ahad itu jumlahnya banyak dan bentuknya beraneka ragam, untuk itu diklasifisir mana yang diduga keras berasal dari Nabi, mana yang meragukan dan mana yang jelas-jelas tidak berasal dari Nabi Keseluruhan pembagian itu, pada hakikatnya di samping bertujuan untuk memudahkan klasifikasinya, para ulama hadits telah berusaha membagi Hadits-hadits Nabi dilihat dari berbagai seginya, kemudian dari pembagian itu dibagi-bagi lagi kepada beberapa macam. Jadi, kita dapat mengetahui mana Hadits yang benar-benar berasal dari Nabi, sehingga akan yakin dan tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengamalkannya. untuk lebih jelasnya, sedikit kami akan paparkan dalam isi atau pembahasan makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
·         Pembagian hadis dari segi kualitas
·         Pembagian hadis dari segi penyandaran
·         Pembagian hadis dari persambungan sanad
C. TUJUAN
·         Mengetahui macam-macam hadits dan pembagiannya
·         Mengetahui perbedaan dari masing-masing hadist
·         Mengetahui syarat-syarat sebuah hadist




BAB II

PEMBAHASAN
A.  Pembagian hadits dari segi Kualitas.
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits  muatawatir memberikan penertian yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.

1.    Hadits shahih.
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
•    Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.
•    Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak syaz, dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat.
2.    Hadits Hasan.
a.  Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (
الحسن ) bermakna al-jamal (الجمال) yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu: khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.
Dengan kata lain hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya.Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih.
b.     Contoh hadits Hasanhadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :
أَعْمَارُاُمَّتِيمَابَيْنَالسِّتِّيْنَاِليَالسَّبْعِيْنَوَأَقَلُّهُمْمَنْيَجُوْزُذَالِكَ
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.
c. Macam-macam Hadits Hasan.
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala criteria dan persyaratan yang ditemukan.Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasandiatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :
هُوَاْلحَدِيْثُالضَّعِيْفُاِذَارُوِيَمِنْطَرِيْقِأُخْرَيمِثْلُهُأَوْأَقْوَيمِنْهُ
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
هُوَالضَّعِيْفُاِذَاتَعَدَّدَتْطُرُقُهُوَلـَمْيَكُنْسَبَبُضَعْفِهِفِسْقَالرَّاوِيأَوْكِذْبُهُ“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi.Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
1)    Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2)    Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
d.    Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih.Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin).Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
3.    Hadits Dhaif
a.  Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (
الضعيف) berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat.Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah.Dalam istilah hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama : Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.
b.    contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
وَمَنْأَتَيحَائِضَاأَوِامْرَأَهٍمِنْدُبُرِأَوْكَاهِنَافَقَدْكَفَرَبِمَااُنْزِلَعَلَيمُحَمَّدٍ
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar :     فِيْهِلَيِّنٌ  padanya lemah.
c.    Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu).Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur.Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1)  Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2)  Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain. Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya :   رُوِيَ diriwayatkan,     نُقِلَ dipindahkan,     فِيْمِايُرْوِيَ pada sesuatu yang diriwayatkan      dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).
d.    Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :
1)   Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2)   Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3)    Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
•    Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
•    Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
•    Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.
e.    Tingkatan hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal.Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.

      


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud.Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits yang dahif.














DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh Manna. 2008. Pengantar Studi Ilmu Hadits.Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
As-Shalih, Subhi. 1991. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung:Angkasa.
Majid, Abdul. 2010. Ulumul Hadist. Jakarta: Amzah.
Rachman, Fathur., 1974, Ikhtisar Mushthalahu’l-Hadist, Bandung : PT Alma’arif.
Solahudin, Agus. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV.PUSTAKA SETIA.
Sulaiman, Nur. 2008. Ilmu Hadist. Jakarta: Gudang Persada Press.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar