MACAM-MACAM HADIST BERDASARKAN
KUANTITAS DAN KUALITAS
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul
Hadist
Dosen :
|
Deden Suparman, M.A..
|

Oleh :
Nurillah Novia H
|
1147020049
|
Rissa Rohimah
|
1147020056
|
Sarah Permatasari
|
1147020059
|
Siti Nursifa Windasari
Sodikin
|
1147020063
1147020069
|
|
|
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut
nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, penulis panjatkan puja
dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada umat manusia. Serta shalawat dan salam dijunjungkan kepada
Nabi Muhammah SAW, yang telah membawa umat islam dari masa kegelapan menuju
masa terang-benderang.
Pada kesempatan
ini penulis menyusun makalah berjudul MACAM-MACAM HADIST BERDASARKAN KUANTITAS DAN KUALITAS
Penulis telah mengusahakan penyusunan makalah ini semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar penyusunan
makalah ini. Untuk itu penulis pun menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun segi
lainnya.Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka penulis
mempersilahkan bagi pembaca yang ingin memberikan saran dan kritik kepada
penulis sehingga penulis dapat memperbaiki makalah ini.Akhirnya penulis
mengharapkan semoga ini dapat diambil hikmah, pelajaran, dan manfaatnya
sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.
Bandung, April 2015
|
|
|
|
Penulis
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Latar belakang adanya pembagian
Hadits, sejarah periwayatan hadits Nabi , memang berbeda dengan sejarah
periwayatan Al-Qur’an. Periwayatan Al-Qur’an dari Nabi kepada para sahabat
berlangsung secara terbuka dan umum, sehingga jumlah sahabat yang mendengarkan
dan kemudian menghafalya, jumlahnya tidak terhitung. Kemudian, Al-Qur’an itu
oleh para sahabat disampaikan kepada para tabi’in dengan bentuk sama pula, dan
demikian seterusnya para tabi’in dengan bentuk yang sama pula, dan seterusnya
sampai kepada zaman kita. Sehingga dengan demikian, tak dapat diragukan lagi,
bahwa Al-Qur’an sampai sekarang ini tetap terpelihara keorisilannya.. Di
samping itu, Allah SWT sendiri telah menjamin akan terpeliharanya. Al-Qur’an
itu, sebagaimana firman Allah dalam (Q.S al-Hijr:9).
Akan halnya periwayatan Hadis Nabi, tidaklah demikian
sejarahnya.Memang benar, bahwa sejak zaman Nabi masih hidup, tidak sedikit para
sahabat yang telah memiliki catatan-catatan di shahifahnya masing-masing
disamping tidak sedikit juga yang mengahafalnya.Tetapi, dalam penyampaian
Hadits oleh Rasulullah, terkadang bersifat umum dan terbuka, tetapi di samping
itu tidak jarang pula dilakukan secara invidual, dihadapan satu-dua orang
saja.Sebelum masa pendewaan Hadits telah terjadi berbagai pemalsuan Hadits,
baik yang didasari oleh kepentingan politik, kepentingan agama (da’wah), atau
kepentingan lainnya. Sehingga apa yang disampaikan oleh periwayatan Hadits
sebagai Hadits Nabi, dengan sendirinya memerlukan penelitian yang ketat untuk
menetapkan apakah benar riwayat tersebut berasal dari Nabi atau tidak.Apabila
dilihat dari segi jumlah perawi yang meriwayatkan hadits Nabi dari generasi ke
generasi, maka ternyata yang berkedudukan mutawatir sebagaimana periwayatan
Al-Qur’an, jumlahnya tidaklah banyak. Karena itu, bila dilihat dari segi
periwayatannya, maka kedudukan Hadits pada umumnya adalah kebenaran
periwayatannya masih dalam status dugaan, sedang yang berstatus tidak diragukan
lagi kebenaran periwayatannya, jumlahnya tidak banyak. Sudah
barang tentu, Hadits Mutawatir, kedudukan periwayatannya lebih tinggi dari yang
Hadits Ahad. Karena Hadits-hadits Ahad itu jumlahnya banyak dan bentuknya
beraneka ragam, untuk itu diklasifisir mana yang diduga keras berasal dari
Nabi, mana yang meragukan dan mana yang jelas-jelas tidak berasal dari Nabi
Keseluruhan pembagian itu, pada hakikatnya di samping bertujuan untuk
memudahkan klasifikasinya, para ulama hadits telah berusaha membagi
Hadits-hadits Nabi dilihat dari berbagai seginya, kemudian dari pembagian itu
dibagi-bagi lagi kepada beberapa macam. Jadi, kita dapat mengetahui mana Hadits
yang benar-benar berasal dari Nabi, sehingga akan yakin dan tidak ada alasan
bagi kita untuk tidak mengamalkannya. untuk lebih jelasnya, sedikit kami akan
paparkan dalam isi atau pembahasan makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
·
Pembagian
hadis dari segi kualitas
·
Pembagian
hadis dari segi penyandaran
·
Pembagian
hadis dari persambungan sanad
C. TUJUAN
·
Mengetahui
macam-macam hadits dan pembagiannya
·
Mengetahui
perbedaan dari masing-masing hadist
·
Mengetahui
syarat-syarat sebuah hadist
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian
hadits dari segi Kualitas.
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa
hadits muatawatir memberikan penertian yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi
Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan)
dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil
mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena
kebenarannya sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan
diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya.
Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang
kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik
terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas,
apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
1.
Hadits shahih.
Menurut
bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa
ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
• Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih
adalah “hadits yang sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang
yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad
tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.
• Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak syaz, dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat.
• Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak syaz, dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat.
2. Hadits Hasan.
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن ) bermakna al-jamal (الجمال) yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu: khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن ) bermakna al-jamal (الجمال) yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu: khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.
Dengan kata lain hadits hasan adalah hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada
keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.Criteria hadits hasan hampir sama dengan
hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya.Hadits
shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam
hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits
shahih.
b. Contoh hadits Hasanhadits yang
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin
Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah,
bahwa Nabi SAW bersabda :
أَعْمَارُاُمَّتِيمَابَيْنَالسِّتِّيْنَاِليَالسَّبْعِيْنَوَأَقَلُّهُمْمَنْيَجُوْزُذَالِكَ
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.
أَعْمَارُاُمَّتِيمَابَيْنَالسِّتِّيْنَاِليَالسَّبْعِيْنَوَأَقَلُّهُمْمَنْيَجُوْزُذَالِكَ
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.
c. Macam-macam
Hadits Hasan.
Sebagaimana
hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi
dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala criteria dan persyaratan yang ditemukan.Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasandiatas.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala criteria dan persyaratan yang ditemukan.Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasandiatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat
diantaranya adalah :
هُوَاْلحَدِيْثُالضَّعِيْفُاِذَارُوِيَمِنْطَرِيْقِأُخْرَيمِثْلُهُأَوْأَقْوَيمِنْهُ
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
هُوَالضَّعِيْفُاِذَاتَعَدَّدَتْطُرُقُهُوَلـَمْيَكُنْسَبَبُضَعْفِهِفِسْقَالرَّاوِيأَوْكِذْبُهُ“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi.Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
هُوَاْلحَدِيْثُالضَّعِيْفُاِذَارُوِيَمِنْطَرِيْقِأُخْرَيمِثْلُهُأَوْأَقْوَيمِنْهُ
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
هُوَالضَّعِيْفُاِذَاتَعَدَّدَتْطُرُقُهُوَلـَمْيَكُنْسَبَبُضَعْفِهِفِسْقَالرَّاوِيأَوْكِذْبُهُ“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi.Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
1) Harus ditemukan periwayatan sanad
lain yang seimbang atau lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya
dibawah hadits shahih.Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin
mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat dalam
mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin).Bahkan sebagian muhadditsin yang
mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam hadits
shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
3.
Hadits Dhaif
a. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat.Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah.Dalam istilah hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama : Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.
b. contoh hadits dhaif
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat.Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah.Dalam istilah hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama : Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.
b. contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan
hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW
bersabda :
وَمَنْأَتَيحَائِضَاأَوِامْرَأَهٍمِنْدُبُرِأَوْكَاهِنَافَقَدْكَفَرَبِمَااُنْزِلَعَلَيمُحَمَّدٍ
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
وَمَنْأَتَيحَائِضَاأَوِامْرَأَهٍمِنْدُبُرِأَوْكَاهِنَافَقَدْكَفَرَبِمَااُنْزِلَعَلَيمُحَمَّدٍ
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam
sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai
dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan
komentar : فِيْهِلَيِّنٌ padanya lemah.
c.
Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits
palsu).Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak
terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan
jujur.Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama
memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya
dengan dua syarat, yaitu :
1) Tidak berkaitan dengan akidah seperti
sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang
berkaitan dengan halal dan haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah,
targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan
lain-lain. Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad
sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan
(jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif
(mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya : رُوِيَ
diriwayatkan, نُقِلَ
dipindahkan, فِيْمِايُرْوِيَ pada sesuatu yang
diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).
d.
Pengamalan hadits dhaif
Para
ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi
menjadi 3 pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara
mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana
yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat
pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan
Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak
baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu
Dawud dan Imam Ahmad. Mereka
berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail
al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib
(ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang
dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
• Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
• Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
• Masuk kedalam kategori hadits yang
diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi
pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada
hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan
oposisinya).
•
Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena
berhati-hati semata atau ikhtiyath.
e. Tingkatan hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah
tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu
buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail
al-a’mal.Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu’’,
matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas
perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir
ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam,
yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi
dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi
kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits
mardud.Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan
hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits yang
dahif.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan,
Syaikh Manna. 2008. Pengantar Studi Ilmu Hadits.Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
As-Shalih,
Subhi. 1991. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung:Angkasa.
Majid, Abdul.
2010. Ulumul Hadist. Jakarta: Amzah.
Rachman,
Fathur., 1974, Ikhtisar
Mushthalahu’l-Hadist, Bandung : PT Alma’arif.
Solahudin, Agus. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV.PUSTAKA
SETIA.
Sulaiman, Nur.
2008. Ilmu Hadist. Jakarta: Gudang Persada Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar